Sunday, August 23, 2020

Kiai Ali Mansyur Penyusun Sholawat Badar

LIMA tahun sebelum pecah tragedi berdarah yang menggiris hati pada 30 September, seorang kiai usia paruh abad sedang resah di atas ranjangnya. Malam itu telah larut. Bintang Sirius di langit Banyuwangi, kian terang di ufuk timur. Namun tokoh kita ini, KH Raden Muhammad Ali Mansyur Basyaiban, tak jua tenang. Geliat tokoh komunis jadi pusat pikiran cucu KH Muhammad Shiddiq (Jember) ini. Bung Karno yang mengenalkan gagasan barunya tentang NASAKOM (Nasionalis, Sosialis, Komunis), ternyata malah dimanfaatkan partai palu arit guna melancarkan politik agresif mereka.

Selain merenungi komunisme, Kiai Ali juga ngungun sendiri atas mimpi yang ia alami beberapa hari sebelumnya. Dalam mimpi itu, ia didatangi serombongan orang berjubah putih dan hijau. Tak ingin dilamun resah, Kiai Ali menanyakan mimpinya itu pada Habib Hadi al-Haddar. Dari mulut Habib Hadi barulah diketahui bahwa rombongan yang mendatanginya adalah Ahlul Badr. Malam terus merambat menuju subuh. Kiai Ali pun beranjak dari ranjang. Lalu ia mengambil potlot dan mengguratkan beberapa buah syair di atas secarik kertas.

Peran besar Kiai Ali Mansyur ini diamini Gus Dur saat menjabat Ketua Umum PBNU di hadapan sidang Muktamar ke-28 NU di Ponpes Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta (26-11-1989), bahwa penggubah syair dan lagu Selawat Badr  adalah KH Muhammad Ali Mansyur Shiddiq Basyaiban, yang lalu diteruskan dengan menganugerahkan “Bintang NU” kepada beliau. Pernyataan serupa kembali ditegaskan Gus Dur selaku Presiden Republik Indonesia dalam sambutannya pada Muktamar ke-30 NU di PP Lirboyo, Kediri (21-11-1999).

Pernyataan Gus Dur di atas sontak menghapus polemik seputar pencipta Selawat Badr yang setidaknya bersangkutan dengan tiga oknum: ulama Hanafiyah, al-Busyiri, dan KH Ahmad Siddiq (mantan Rois ‘Am PBNU).

Jelas sangat kurang tepat jika Selawat Badr dikatakan sebagai karya ulama Hanafiyah, sebab tidak ada data, fakta dan alasan yang jelas. Sama halnya bila dikatakan karya KH Ahmad Shiddiq. Sebab dalam buku Biografi KH Ahmad Shiddiq, tidak disebutkan peranannya sebagai pencipta syair selawat ini. Justru keluarga besar Shiddiqiyah malah menegaskan KH Ali Mansyur sebagai penggubah syair Selawat Badr.

Kurang tepat pula jika Selawat Badr adalah buah karya al-Busyiri, sastrawan dari Timur Tengah yang dikenal sebagai penulis Qasidah Burdah. Gus Dur, ketika ditanya alasannya oleh Kiai Syakir Ali dari Maibit Rengel, Tuban (putra KH M. Ali Mansyur), berkata bahwa al-Busyiri bukan tipe orang yang suka bertawasul. Sementara syair Selawat Badr memuat doa tawasul. Ditinjau dari makna kandungannya, selawat ini berciri-khas Indonesia, bukan Arab. Dari segi balaghahnya, selawat ini ber-balaghah Jawa.

Pandangan Gus Dur itu dikuatkan oleh Gus Ishom (alm) dari Tebuireng, yang paham betul soal sastra Arab, bahwa syair Selawat Badr digubah oleh orang Jawa, bukannya bikinan orang Arab atau Timur Tengah. Sebab, ciri-ciri syair ala Timur Tengah biasanya berbelit-belit, sulit dipahami artinya dan jarang ada kata atau kalimat yang diulang. Sementara ciri ini tidak ditemukan dalam syair Selawat Badr.

Bukti terkuat yang tak bisa dibantah adalah, catatan (tulisan Arab pegon) yang ditemukan di dalam kitab milik Kiai Ali yang berbunyi: “Naliko kulo gawe lagune Selawat Badar, yoiku sak ba’dane teko songko Makkah al-Mukarramah, kang tak anyari waktu lailatul qiro’ah kelawan ngundang almarhum Haji Ahmad Qusyairi sak muride. Yoiku ono malem Jumat tahun 1960, tonggoku podo ngimpi weruh ono bongso sayyid utowo habib podho melebu ono omahku. Wa karimati, Khotimah, ugo ngimpi ketho’ kanjeng Nabi Muhammad iku rangkul-rangkulan karo al-faqir. Kiro-kiro dino jumat ba’da shubuh, tonggo-tonggo podho ndodok lawang pawon, podho takon: ‘Wonten tamu sinten mawon kolo ndalu?’. Lajeng kulo tanglet Habib Hadi al-Haddar, dan dijawab: ‘Haa ulaai arwaahu ahlil badri rodhi-yalloohu ‘anhum’. Alhamdulillahi Robbil ‘aalamiin.”

Nukilan catatan itu sejajar dengan mimpi Kiai Ali yang secara nasab, muncul dari kalangan orang terpuji. Beliau lahir di Jember pada 4 Ramadan 1340 H/23 Maret 1921 M, dari pasangan Kiyai Mansyur bin KH. Muhammad Shiddiq dan Shofiyah binti KH. Basyar, dari Tuban.

KH Raden Muhammad Ali bin Mansyur termasuk dalam keluarga besar as-Shiddiqi. Kakeknya yang bernama KH Muhammad Shiddiq (Jember), adalah seorang ulama yang menurunkan ulama-ulama besar seperti KH Abdul Hamid (Mbah Hamid, Wali Pasuruan), KH Ahmad Qusyairi, KH Ahmad Shiddiq, KH Mahfuzh Shiddiq,  KH A. Hamid Wijaya, KH Yusuf Muhammad, dll. Beliau juga masih keturunan Mbah Sambu Lasem (Pangeran Sayyid Muhammad Syihabuddin Digdoningrat) bin  Sayyid Muhammad Hasyim bin Sayyid Abdurrahman Basyaiban (Sultan Mangkunegara III).


0 comments :

Post a Comment