Sunday, August 23, 2020

Hukum Dzikir dengan Mengulang 'Allah, Allah, Allah'

Ada banyak sekali ragam bacaan dzikir yang dipraktikkan kaum muslimin, ada yang pendek dan ada pula yang panjang.

Beberapa bacaan dzikir yang populer adalah semisal takbir (Allâhu akbar), tahmid (al-hamdu lillâh), tahlil (lâ ilâha illAllah), hauqalah (lâ haula walâ quwwata illâ billâh) dan sebagainya yang semua ulama sepakat akan kebaikannya. 

Namun, ada satu lafal dzikir yang dipermasalahkan oleh sebagian pihak, yakni ketika berdzikir dengan hanya mengulang nama Allah saja sehingga menjadi:

"Allah, Allah, Allah, Allah...." Dzikir dengan satu kata “Allah” saja semacam ini kerap dijumpai dalam lelaku ilmu tasawuf. Mengomentari dzikir semacam ini, Syekh Ibnu Taymiyah berkata:


والذكر بالاسم المفرد مظهرا ومضمرا بدعة في الشرع وخطأ في القول واللغة فإن الاسم المجرد ليس هو كلاما لا إيمانا ولا كفرا


"Dzikir dengan isim mufrad (satu kata), baik berupa kata asli (Allah) ataupun kata ganti (Huwa) adalah bid’ah dalam syariat, salah secara etika berbicara dan keliru secara bahasa.

Hadits tersebut menambah bukti bahwa dzikir dengan menyebut “Allah, Allah” tidaklah terlarang, bahkan sebaliknya merupakan kebajikan yang membuat kiamat takkan terjadi bila ia masih terucap di muka bumi.

Karena itulah, wajar sekali bila para ulama tasawuf terkemuka mengajarkan dzikir semacam ini, salah satunya adalah Hujjatul Islam Imam al-Ghazali yang menjelaskan cara-cara berdzikir untuk selalu mengingat Allah, sebagaimana berikut :


فإن أصل طريق الدين القوت الحلال وعند ذلك يلقنه ذكراً من الأذكار حتى يشغل به لسانه وقلبه فيجلس ويقول مثلا الله الله أو سبحان الله سبحان الله أو ما يراه الشيخ من الكلمات 


“Maka sesungguhnya dasar dari jalan tasawuf adalah makanan yang halal. Maka ketika itu terpenuhi, hendaknya seorang guru mendiktekan pada muridnya salah satu macam dzikir hingga lisan dan hatinya sibuk dengan itu. Ia duduk dan misalnya berkata:

“Allah, Allah” atau “Subhanallah subhanallah” atau redaksi lain yang diajarkan oleh gurunya.” (al-Ghazali, Ihya’ Ulum ad-Din, III, 77).

Adapun soal anggapan bahwa mengulang kata “Allah” saja adalah salah menurut bahasa sebab tak berupa kalimat sempurna seperti “Mahasuci Allah” atau “Allah Mahabesar”, maka anggapan ini tidak bisa menjadi dalil untuk mengharamkan dzikir semacam ini sebab meskipun tak lumrah sebab hanya satu kata, ia tetaplah berfungsi selayaknya redaksi dzikir yang panjang sebagai pengingat kepada Allah.

Imam ar-Ramli, salah satu ulama yang diakui sebagai mujtahid di kalangan mazhab Syafi’iyah, dalam kitab fatwanya pernah ditanya perihal hal ini dan beliau memberikan jawaban sebagai berikut :


ـ (سُئِلَ) عَنْ قَوْلِ الْقَائِلِ فِي مَجْلِسِ الذِّكْرِ اللَّهُ اللَّهُ فِي حَالِ صَحْوِهِ مِنْ اسْتِغْرَاقٍ هَلْ يُسَمَّى ذِكْرًا أَوْ لَا، وَإِذَا قُلْتُمْ بِأَنَّهُ لَا يُسَمَّى ذِكْرًا هَلْ يُثَابُ عَلَيْهِ أَمْ لَا؟ (فَأَجَابَ) بِأَنَّهُ لَا يُسَمَّى ذِكْرًا عُرْفًا لِعَدَمِ إفَادَتِهِ لَكِنَّهُ يُثَابُ لِقَصْدِ الذِّكْرِ كَمَا أَنَّ ذَا الْحَدَثِ الْأَكْبَرِ آثِمٌ بِنُطْقِهِ بِحَرْفٍ وَاحِدٍ مِنْ الْقُرْآنِ بِقَصْدِ الْقِرَاءَةِ؛ لِأَنَّهُ نَوَى مَعْصِيَةً وَشَرَعَ فِيهَا، وَإِنْ لَمْ يُسَمَّ قَارِئًا


“Imam ar-Ramli ditanya tentang ucapan seseorang di majelis dzikir ‘Allah, Allah’ di saat ia tersadar dari keheningan dzikirnya, apakah itu disebut dzikir atau tidak? Dan bila tidak, apakah berpahala atau tidak?”

Ar-Ramli menjawab: “Secara kebiasaan yang berlaku, hal itu tidak disebut dzikir sebab bukan merupakan kalimat sempurna, tetapi pelakunya mendapat pahala sebab berniat dzikir, seperti halnya seseorang yang punya hadats besar berdosa ketika melafalkan satu huruf Al-Qur’an dengan niat membaca al-Qur’an, meskipun [secara kebiasaan] tidak disebut sebagai telah membaca Al-Qur’an,” (ar-Ramli, Fatawa ar-Ramli, IV, 358).

Adapun soal anggapan bahwa mengulang kata “Allah” saja adalah salah menurut bahasa sebab tak berupa kalimat sempurna seperti “Mahasuci Allah” atau “Allah Mahabesar”, maka anggapan ini tidak bisa menjadi dalil untuk mengharamkan dzikir semacam ini sebab meskipun tak lumrah sebab hanya satu kata, ia tetaplah berfungsi selayaknya redaksi dzikir yang panjang sebagai pengingat kepada Allah.

Imam ar-Ramli, salah satu ulama yang diakui sebagai mujtahid di kalangan mazhab Syafi’iyah, dalam kitab fatwanya pernah ditanya perihal hal ini dan beliau memberikan jawaban sebagai berikut :


ـ (سُئِلَ) عَنْ قَوْلِ الْقَائِلِ فِي مَجْلِسِ الذِّكْرِ اللَّهُ اللَّهُ فِي حَالِ صَحْوِهِ مِنْ اسْتِغْرَاقٍ هَلْ يُسَمَّى ذِكْرًا أَوْ لَا، وَإِذَا قُلْتُمْ بِأَنَّهُ لَا يُسَمَّى ذِكْرًا هَلْ يُثَابُ عَلَيْهِ أَمْ لَا؟ (فَأَجَابَ) بِأَنَّهُ لَا يُسَمَّى ذِكْرًا عُرْفًا لِعَدَمِ إفَادَتِهِ لَكِنَّهُ يُثَابُ لِقَصْدِ الذِّكْرِ كَمَا أَنَّ ذَا الْحَدَثِ الْأَكْبَرِ آثِمٌ بِنُطْقِهِ بِحَرْفٍ وَاحِدٍ مِنْ الْقُرْآنِ بِقَصْدِ الْقِرَاءَةِ؛ لِأَنَّهُ نَوَى مَعْصِيَةً وَشَرَعَ فِيهَا، وَإِنْ لَمْ يُسَمَّ قَارِئًا


“Imam ar-Ramli ditanya tentang ucapan seseorang di majelis dzikir ‘Allah, Allah’ di saat ia tersadar dari keheningan dzikirnya, apakah itu disebut dzikir atau tidak? Dan bila tidak, apakah berpahala atau tidak?”

Ar-Ramli menjawab: “Secara kebiasaan yang berlaku, hal itu tidak disebut dzikir sebab bukan merupakan kalimat sempurna, tetapi pelakunya mendapat pahala sebab berniat dzikir, seperti halnya seseorang yang punya hadats besar berdosa ketika melafalkan satu huruf Al-Qur’an dengan niat membaca al-Qur’an, meskipun [secara kebiasaan] tidak disebut sebagai telah membaca Al-Qur’an,” (ar-Ramli, Fatawa ar-Ramli, IV, 358). Sumber website: @nuonline_id


0 comments :

Post a Comment