This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Saturday, March 9, 2024

JANGAN BOSAN BERDO'A

Untuk mewujudkan impian, janganlah lupakan Yang Maha Kuasa. Kadang kita lalai dan hanya bergantung pada diri kita sendiri yang lemah dan tidak memiliki kemampuan apa-apa. Maka perbanyaklah do'a. Karena setiap do'a pastilah bermanfaat. Allah Ta'ala berfirman,


ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ


“Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu." (QS. Al Mu'min: 60)


Jika ada yang bertanya, "Aku sudah seringkali berdo'a, namun mengapa impianku belum tercapai juga?" Kami bisa memberi jawaban sebagai berikut:


Pertama: Do'a boleh jadi terkabul, namun kita saja yang tidak mengetahui bentuk terkabulnya. Terkabulnya do'a bisa jadi dengan dipalingkan dari kejelekan dari do'a yang kita minta. Dan boleh jadi Allah simpan terkabulnya do'a tadi di akhirat kelak. Sebagaimana Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


« ما مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ وَلاَ قَطِيعَةُ رَحِمٍ إِلاَّ أَعْطَاهُ اللَّهُ بِهَا إِحْدَى ثَلاَثٍ إِمَّا أَنْ تُعَجَّلَ لَهُ دَعْوَتُهُ وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِى الآخِرَةِ وَإِمَّا أَنُْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا ». قَالُوا إِذاً نُكْثِرُ. قَالَ « اللَّهُ أَكْثَرُ »


“Tidaklah seorang muslim memanjatkan do'a pada Allah selama tidak mengandung dosa dan memutuskan silaturahmi (antar kerabat, pen) melainkan Allah akan beri padanya tiga hal: Allah akan segera mengabulkan do'anya, Allah akan menyimpannya baginya di akhirat kelak, dan Allah akan menghindarkan darinya kejelekan yang semisal." Para sahabat lantas mengatakan, "Kalau begitu kami akan memperbanyak berdo'a." Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lantas berkata, "Allah nanti yang memperbanyak mengabulkan do'a-do'a kalian." (HR. Ahmad, dari Abu Sa'id; derajat hasan)


Contohnya seseorang berdo'a, "Allahummar-zuqnii, Allahummar-zuqnii” (Ya Allah, berilah aku rizki. Ya Allah, berilah aku rizki). Boleh jadi do'a tersebut, Allah kabulkan segera atau diakhirkan. Allah Ta'ala Maha Mengetahui yang terbaik untuk hamba tersebut. Bahkan boleh jadi pula, Allah simpan do'a tersebut untuk meninggikan derajatnya di surga. Ini tentu saja lebih tinggi dari kebahagiaan di dunia. Kebahagiaan di akhirat kelak tentu jauh berbeda dari kebahagiaan di dunia. Malik bin Dinar mengatakan,


لو كانت الدنيا من ذهب يفنى ، والآخرة من خزف يبقى لكان الواجب أن يؤثر خزف يبقى على ذهب يفنى ، فكيف والآخرة من ذهب يبقى ، والدنيا من خزف يفنى؟


“Seandainya dunia adalah emas yang akan fana, dan akhirat adalah tembikar yang kekal abadi, maka tentu saja seseorang wajib memilih sesuatu yang kekal abadi (yaitu tembikar) daripada emas yang nanti akan fana. Lalu bagaimana lagi jika akhirat itu adalah emas yang akan kekal abadi dan dunia adalah tembikar yang akan fana?"


Kedua: Terkabulnya do'a boleh jadi diakhirkan agar seseorang tetap giat dan bersemangat dalam berdo'a. Ketika ia giat berdo'a, maka ia pun akan mendapatkan ketinggian derajat di akhirat kelak. Cobalah kita perhatikan apa yang terjadi pada para Nabi 'alaihimush sholaatu wa salaam. Mereka terus saja berdo'a dan memperbanyak do'a, namun terkabulnya do'a mereka diakhirkan agar mereka tetap semangat dalam berdo'a. Di antara contohnya adalah Nabi Ayyub 'alaihis salam yang diberi cobaan penyakit selama 18 tahun sehingga ia pun dijauhi kerabat dan yang lainnya. Namun ia tetap terus berdo'a dan berdo'a. Allah pun memujinya karena kesabarannya tersebut,


إِنَّا وَجَدْنَاهُ صَابِرًا نِعْمَ الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ


“Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhan-nya)." (QS. Shaad: 44)


Ketiga: Boleh jadi do'a tersebut sulit terkabul karena beberapa faktor penghalang. Di antara faktor penghalang adalah seseorang mengangkat tangan ke langit, namun ia sering mengkonsumsi makanan, minuman  dan menggunakan pakaian yang haram atau diperoleh dari hasil yang haram (sebagaimana disebut dalam hadits riwayat Muslim no. 1015, dari Abu Hurairah). Inilah yang membuat do'a seseorang sulit terkabul.


Oleh karena itu, sudah sepantasnya kita rajin mengintrospeksi diri, siapa tahu do'a kita tidak kunjung terkabul karena sebab mengkonsumsi yang haram.


WaLLAAHUa'lam

TERUS BERUSAHA dan BERSYUKUR

Teruslah berusaha, memohon pada Allah, dan janganlah putus asa. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


الْمُؤْمِنُ الْقَوِىُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِى كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَىْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّى فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا. وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ


“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah. Namun, keduanya tetap memiliki kebaikan. Bersemangatlah atas hal-hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah, jangan engkau lemah. Jika engkau tertimpa suatu musibah, maka janganlah engkau katakan: 'Seandainya aku lakukan demikian dan demikian.' Akan tetapi hendaklah kau katakan: 'Ini sudah jadi takdir Allah. Setiap apa yang telah Dia kehendaki pasti terjadi.’ Karena perkataan law (seandainya) dapat membuka pintu syaithon." (HR. Muslim no. 2664, dari Abu Hurairah)


Jadikanlah impian kita semata-mata untuk tujuan akhirat dan bukan dunia semata. Jika ingin meraih kekayaan, jadikanlah ia sebagai amal sholih untuk tujuan akhirat. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


مَنْ كَانَتِ الآخِرَةُ هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ غِنَاهُ فِى قَلْبِهِ وَجَمَعَ لَهُ شَمْلَهُ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِىَ رَاغِمَةٌ وَمَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَفَرَّقَ عَلَيْهِ شَمْلَهَ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلاَّ مَا قُدِّرَ لَهُ


“Barangsiapa yang niatnya adalah untuk menggapai akhirat, maka Allah akan memberikan kecukupan dalam hatinya, Dia akan menyatukan keinginannya yang tercerai berai, dunia pun akan dia peroleh dan tunduk hina padanya. Barangsiapa yang niatnya adalah untuk menggapai dunia, maka Allah akan menjadikan dia tidak pernah merasa cukup, akan mencerai beraikan keinginannya, dunia pun tidak dia peroleh kecuali yang telah ditetapkan baginya." (HR. Tirmidzi no. 2465, shahih)


Ketika impian tercapai, maka perbanyaklah syukur pada Allah dengan selalu taat dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Lihatlah bagaimana do'a Ibrahim ketika di usia senja ia masih diberi keturunan.


الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَهَبَ لِي عَلَى الْكِبَرِ إِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِنَّ رَبِّي لَسَمِيعُ الدُّعَاءِ (39)


“Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua (ku) Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku, benar-benar Maha Mendengar (memperkenankan) doa." (QS. Ibrahim: 39). Ada ulama yang mengatakan bahwa ketika Isma'il lahir, usia Ibrahim 99 tahun dan ketika Ishaq lahir, usia beliau 112 tahun.


WaLLAAHUa'lam

Hidup Bagaikan Hewan Ternak


Allah Ta'ala berfirman,


وَالَّذِينَ كَفَرُوا يَتَمَتَّعُونَ وَيَأْكُلُونَ كَمَا تَأْكُلُ الْأَنْعَامُ وَالنَّارُ مَثْوًى لَهُمْ


“Dan orang-orang kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang. Dan jahannam adalah tempat tinggal mereka." (QS. Muhammad: 12)


Ibnu Katsir rahimahullah berkata, "Di dunia, mereka bersenang-senang dengan makan sebagaimana hewan ternak bersenang-senang dengan makan pula dalam keadaan khadmaa (makan sepenuh mulut) dan qadhmaa (makan dengan mematahkan menggunakan ujung gigi). Semangat hewan ternak hanyalah seperti itu. Oleh karena itu dalam hadits disebutkan,


الْمُؤْمِنُ يَأْكُلُ فِى مِعًى وَاحِدٍ وَالْكَافِرُ يَأْكُلُ فِى سَبْعَةِ أَمْعَاءٍ


“Orang mukmin itu makan dengan satu usus, sedangkan orang kafir itu makan dengan tujuh usus." (HR. Bukhari, no. 5393 dan Muslim, no. 2061).” 


Makanya dilanjutkan bagi orang yang berpikir di dunia hanya hidup seperti hewan ternak maka neraka itu sebagai balasan untuk mereka.


WaLLAAHUa'lam

GERAK DALAM SHALAT

Seringkali kita sendiri atau saudara kita terlihat menggaruk-garuk kepala, merapikan baju atau melakukan gerakan lainnya dalam shalat yang sebenarnya bukan darurat. Apakah banyak gerak itu membatalkan shalat? Adakah jumlah gerakan yang membuat shalat seseorang menjadi batal?


Perlu diketahui –saudaraku- bahwa hukum asal bergerak (di luar gerakan shalat) adalah terlarang kecuali jika ada hajat (kebutuhan). Namun perlu diketahui bahwa gerakan dalam shalat (di luar gerakan shalat) itu ada lima macam:


1. Gerakan yang diwajibkan.

2. Gerakan yang diharamkan.

3. Gerakan yang dimakruhkan.

4. Gerakan yang disunnahkan.

5. Gerakan yang hukumnya mubah (boleh saja).


Gerakan yang diwajibkan, misalnya adalah ketika seorang yang sedang shalat memperhatikan di penutup kepalanya ada najis, maka ia bergerak untuk memindahkannya dan ia melepas penutup kepalanya tersebut.


Hal ini sebagaimana pernah terjadi pada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Ketika itu datang malaikat Jibril sedangkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sedang melaksanakan shalat berjama'ah dengan yang lainnya. Lalu Jibril memberitahukan bahwa di sendal beliau ada najis. Lantas Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mencopotnya sedangkan beliau shalat dan beliau terus melanjutkan shalatnya. (HR. Abu Daud no. 650)


Contoh lainnya adalah ketika seseorang salah menghadap kiblat lalu ada yang mengingatkan, maka ia harus berpaling atau memutar badannya ke arah kiblat. Gerakan ini adalah wajib.


Gerakan yang diharamkan adalah gerakan yang memenuhi tiga syarat: (1) gerakannya banyak, (2) berturut-turut, dan (3) dilakukan bukan dalam keadaan darurat. Gerakan semacam ini adalah gerakan yang membatalkan shalat karena tidak boleh dilakukan saat itu. Perbuatan semacam ini termasuk mempermainkan ayat-ayat Allah.


Gerakan yang disunnahkan adalah gerakan untuk melakukan perbuatan yang hukumnya sunnah dalam shalat. Seperti misalnya seseorang ketika shalat bergerak untuk meluruskan shaf. Atau ia melihat ada tempat yang kosong di depannya, lalu ia bergerak maju ke depan untuk mengisi kekosongan. Perbuatan ini termasuk sunnah dalam shalat karena dalam rangka menyempurnakan shalat. Dalil dari hal ini sebagaimana diterangkan dalam hadits bahwa Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma pernah shalat bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Saat itu, ia berdiri di sebelah kiri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Kemudian beliau shallallahu 'alaihi wa sallam menarik kepala Ibnu 'Abbas dari belakangnya dan menjadikannya di sebelah kanan beliau. (Hadits Muttafaqun 'alaih)


Gerakan yang dikatakan mubah (boleh) adalah gerakan yang sedikit karena ada hajat (butuh) atau gerakan yang banyak karena darurat. Contoh gerakan yang sedikit karena ada hajat adalah perbuatan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ketika shalat sambil menggendong Umamah binti Abil 'Ash


وَعَنْ أَبِي قَتَادَةَ ( قَالَ : { كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ صلّى الله عليه وسلّم يُصَلِّي وَهُوَ حَامِلٌ أُمَامَةَ بِنْتَ زَيْنَبَ , فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَهَا , وَإِذَا قَامَ حَمَلَهَا } مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ .


وَلِمُسْلِمٍ : { وَهُوَ يَؤُمُّ اَلنَّاسَ فِي اَلْمَسْجِدِ } .


Dari Abu Qatadah radhiyallahu 'anhu, ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah shalat sambil menggendong Umamah binti Zainab. Jika beliau sujud, beliau meletakkannya dan jika beliau berdiri, beliau menggendongnya.” (Muttafaqun 'alaih. Dalam riwayat Muslim, "Sedang beliau mengimami orang-orang di masjid.") [HR. Bukhari, no. 516 dan Muslim, no. 543]


Adapun gerakan yang mubah, banyak dan dalam kondisi darurat, contohnya adalah shalat dalam keadaan perang. Sebagaimana firman Allah Ta'ala,


حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ* فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالاً أَوْ رُكْبَاناً فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَمَا عَلَّمَكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ


“Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'. Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. kemudian apabila kamu telah aman, Maka sebutlah Allah (shalatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui." (QS. Al Baqarah: 238-239)


Shalat ketika perang itu bisa sambil berjalan. Orang yang shalat seperti ini tentu gerakannya banyak, namun seperti itu dibolehkan karena darurat.


Gerakan yang dimakruhkan adalah gerakan selain yang disebutkan di atas, yaitu hukum asal gerakan (di luar gerakan shalat), adalah dimakruhkan.  Oleh karena itu, kita katakan pada orang yang bergerak sana-sini dalam shalat, gerakannya itu makruh,  mengurangi kesempurnaan shalat. Jadi jika ada yang melihat-lihat jam, menggaruk-garuk kepalanya, memegang hidungnya, menyentuh-nyentuh jenggotnya, atau semisal itu, ini asalnya hukumnya makruh. Kecuali jika gerakan tersebut terlampau banyak dan berturut-turut, maka itu bisa jadi membatalkan shalat.


Syaikh Muhammad bin Sholeh Al 'Utsaimin rahimahullah menerangkan bahwa gerakan yang membatalkan shalat tidak bisa kita katakan bahwa jika melakukan sekian gerakan (dengan jumlah bilangann tertentu), maka shalatnya batal. Yang benar, tidak ada batasan jumlah gerakannya. Pokoknya banyaknya gerakannya adalah kuantitas banyak yang menafikan (membatalkan) shalat dan itu secara 'urf (kebiasaan) dinilai sudah terlampau banyak. Jadi jika seseorang dalam shalat bergerak sana-sini, lalu orang-orang melihatnya, ini seakan-akan bukan orang yang sedang shalat karena saking banyaknya gerakan yang ia lakukan, maka shalatnya batal. Sebagian ulama menyatakan gerakan yang membatalkan adalah jika sudah tiga kali geraknya, ini butuh dalil. Karena siapa saja yang membatasinya dengan bilangan tertentu atau cara tertentu, harus mendatangkan dalil (belum ketemu Hadits tentang berapa batasan jumlah gerak yang diperbolehkan).


WaLLAAHUa'lam

ISTIGHFAR PELEBUR DOSA

Sebagaimana terdapat dalam hadits shahih, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


إذَا أَذْنَبَ عَبْدٌ ذَنْبًا فَقَالَ : أَيْ رَبِّ أَذْنَبْت ذَنْبًا فَاغْفِرْ لِي فَقَالَ : عَلِمَ عَبْدِي أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِهِ قَدْ غَفَرْت لِعَبْدِي ثُمَّ أَذْنَبَ ذَنْبًا آخَرَ فَقَالَ أَيْ رَبِّ أَذْنَبْت ذَنْبًا آخَرَ . فَاغْفِرْهُ لِي فَقَالَ رَبُّهُ : عَلِمَ عَبْدِي أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِهِ قَدْ غَفَرْت لِعَبْدِي فَلْيَفْعَلْ مَا شَاءَ قَالَ ذَلِكَ : فِي الثَّالِثَةِ أَوْ الرَّابِعَةِ


“Jika seorang hamba berbuat dosa, lalu ia berkata: Wahai Rabbku, aku betul-betul telah berbuat dosa, ampunilah aku. Rabbnya menjawab, “Hamba-Ku telah mengetahui bahwa ia memiliki Rabb yang Maha Mengampuni dosa dan menhukumi setiap dosa. Aku telah mengampuni hamba-Ku." Kemudian ia berbuat dosa lainnya, lantas ia pun mengatakan pada Rabbnya, “Wahai Rabbku, aku betul-betul telah berbuat dosa lainnya, ampunilah aku." Rabbnya menjawab, "Hamba-Ku telah mengetahui bahwa ia memiliki Rabb yang Maha Mengampuni dosa dan menhukumi setiap dosa. Aku telah mengampuni hamba-Ku. Lakukanlah sesukamu (maksudnya: selama engkau berbuat dosa lalu bertaubat, maka Allah akan mengampunimu, pen)." Kemudian ia pun melakukan dosa lain yang ketiga atau keempat." (HR. Muslim no. 2758)


Dalam shahih Muslim, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


لَوْ لَمْ تُذْنِبُوا لَذَهَبَ اللَّهُ بِكُمْ وَلَجَاءَ بِقَوْمِ يُذْنِبُونَ ثُمَّ يَسْتَغْفِرُونَ فَيَغْفِرُ لَهُمْ


“Seandainya kamu sekalian tidak berbuat dosa sama sekali, niscaya Allah akan memusnahkan kalian. Setelah itu, Allah akan mengganti kalian dengan umat yang pernah berdosa. Kemudian mereka akan memohon ampunan kepada Allah (beristighfar) dan Allah pun pasti akan mengampuni mereka." (HR. Muslim no. 2749)


Dapat kita katakan bahwa sebagai pelebur dosa ialah istighfar (mohon ampunan pada Allah) disertai dengan taubat. Hal ini sebagaimana dapat dilihat pada hadits,


مَا أَصَرَّ مَنْ اسْتَغْفَرَ وَإِنْ عَادَ فِي الْيَوْمِ مِائَةَ مَرَّةٍ


“Bukanlah orang yang terus berbuat dosa orang yang meminta ampunan (beristighfar) walaupun ia kembali melakukan dosa dalam sehari sebanyak seratus kali.”(HR. Abu Daud no. 1514 dan At Tirmidzi no. 3559. Hadits ini adalah hadits yang dhoif karena majhulnya Maula Abu Bakr. Namun hadits ini memiliki penguat (syahid) dalam riwayat Ath Thobroni tentang do'a, hadits no. 1797, sehingga kesimpulannya hadits ini hasan)


Sebagian ulama mengatakan bahwa istighfar tanpa taubat pun dapat melebur dosa. Penjelasan lebih jauh tentang hal ini diulas di tempat lainnya. Karena istigfar yang disertai dengan taubat, itulah yang ada pada orang yang ingin bertaubat. Sedankan istighfar yang tidak disertai dengan taubat, maka ini akan didapati pada sebagian orang yang beristighfar, di mana istighfar mereka di dalamnya terdapat khosyah (rasa takut yang sangat pada Allah), ada pula rasa ingin kembali pada-Nya. Inilah yang dapat menggugurkan dosa-dosanya. Sebagaimana masalah ini dapat kita lihat tentang hadits "bithoqoh", orang yang memiliki kartu "Laa ilaha illallah,". Kartu tersebut ternyata lebih berat dari dosa-dosanya yang begitu banyak. Ini semua karena ia memiliki shidq (sifat selalu membenarkan) dan ikhlas sehingga menghapuskan dosa-dosa yang ada. Begitu pula dosa seorang pezina yang ia memberikan minuman pada seekor anjing karena di dalam hatinya ada iman. Masih banyak contoh lainnya selain itu.


WaLLAAHUa'lam

AMAL KEBAIKAN MELEBUR DOSA

Dalilnya adalah firman Allah Ta'ala,


وَأَقِمِ الصَّلاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ


“Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk." (QS. Huud: 114)


Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمُعَةُ إلَى الْجُمُعَةِ وَرَمَضَانُ إلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ إذَا اُجْتُنِبَتْ الْكَبَائِرُ


“Di antara shalat lima waktu, di antara Jum'at yang satu dan Jum'at yang berikutnya, di antara Ramadhan yang satu dan Ramadhan yang berikutnya, akan mengampuni dosa-dosa di antara kedunya asalkan dosa-dosa besar dijauhi." (HR. Muslim no. 233, dari Abu Hurairah.)


Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda,


مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ


“Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan atas dasar iman dan mengharapkan pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni." (HR. Bukhari no. 38 dan Muslim no. 760, dari Abu Hurairah)


Dalam hadits lain, beliau bersabda,


مَنْ حَجَّ هَذَا الْبَيْتَ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ مِنْ ذُنُوبِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ


“Siapa yang berhaji ke Ka'bah lalu tidak berkata-kata seronok dan tidak berbuat kefasikan maka dia pulang ke negerinya sebagaimana ketika dilahirkan oleh ibunya." (HR. Bukhari no. 1521, dari Abu Hurairah)


Dalam hadits lain disebutkan,


فِتْنَةُ الرَّجُلِ فِي أَهْلِهِ وَمَالِهِ وَوَلَدِهِ تُكَفِّرُهَا الصَّلَاةُ وَالصِّيَامُ وَالصَّدَقَةُ وَالْأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنْ الْمُنْكَرِ


“Keluarga, harta, dan anak dapat menjerumuskan seseorang dalam maksiat (fitnah). Namun fitnah itu akan terhapus dengan shalat, shaum, shadaqah, amr ma'ruf (mengajak pada kebaikan) dan nahi mungkar (melarang dari kemungkaran)." (HR. Bukhari no. 3586 dan Muslim no. 144. Kata Ibnu Baththol, hadits ini semakna dengan firman Allah Ta'ala (yang artinya), “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah fitnah (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar." (QS. Ath Thagobun: 15))


Hadits lain pula,


مَنْ أَعْتَقَ رَقَبَةً مُؤْمِنَةً أَعْتَقَ اللَّهُ بِكُلِّ عُضْوٍ مِنْهَا عُضْوًا مِنْهُ مِنْ النَّارِ حَتَّى فَرْجَهُ بِفَرْجِهِ


“Barangsiapa yang memerdekakan seorang budak mukminah, maka Allah akan memerdakan setiap anggota tubuhnya dari neraka. Sampai pun kemaluannya yang ia memerdekakan, itu pun akan selamat." (HR. Bukhari no. 6715 dan Muslim no. 1509)


Hadits-hadits di atas dan semisalnya terdapat dalam kitab shahih.


Dalam hadits lain disebutkan pula,


الصَّدَقَةُ تُطْفِئُ الْخَطِيئَةَ كَمَا يُطْفِئُ الْمَاءُ النَّارَ وَالْحَسَدُ يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ النَّارُ الْحَطَبَ


“Sedekah itu akan memadamkan dosa sebagaimana air dapat memadamkan api. Hasad akan memakan kebaikan sebagaimana api melahap kayu bakar." (HR. Al Baihaqi dalam Syu'abul Iman)

DO'A SESAMA ORANG BERIMAN MELEBUR DOSA

Dari 'Aisyah dan Anas bin Malik, dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda,


مَا مِنْ مَيِّتٍ يُصَلِّي عَلَيْهِ أُمَّةٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ يَبْلُغُونَ مِائَةً كُلُّهُمْ يَشْفَعُونَ إلَّا شُفِّعُوا فِيهِ


“Tidaklah seorang mayit dishalati oleh sekelompok kaum muslimin yang jumlahnya hingga 100 orang, maka mereka semua akan memberikan syafa'at pada mayit tersebut" (HR. Muslim no. 947 dan An Nasai no. 1991)


Dari Ibnu 'Abbas, ia berkata,


مَا مِنْ رَجُلٍ مُسْلِمٍ يَمُوتُ فَيَقُومُ عَلَى جِنَازَتِهِ أَرْبَعُونَ رَجُلًا لَا يُشْرِكُونَ بِاَللَّهِ شَيْئًا إلَّا شَفَّعَهُمْ اللَّهُ فِيهِ


“Tidaklah seorang muslim meninggal dunia lalu ia dishalati (dengan shalat jenazah) oleh 40 orang di mana mereka tidak berbuat syirik kepada Allah dengan sesuatu apa pun melainkan orang yang dishalati tadi akan mendapatkan syafa'at dari mereka." (HR. Muslim no. 948)


Kedua hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim. Ini adalah do'a bagi seorang mukmin setelah ia mati. Tidak boleh dipahami bahwa ampunan bagi orang mukmin yang bertakwa ini disyaratkan jika ia menjauhi dosa besar, lalu dosa-dosa kecilnya saja yang diampuni. Penjelasan ini menunjukkan bahwa dosa si mayit tadi diampuni menurut dua kubu yang berselisih. 


Dua kubu di sini: pertama, yang menganggap bahwa kebaikan hanya menghapuskan dosa kecil sedangkan dosa besar harus dengan taubat, dan kedua, yang menganggap bahwa kebaikan itu bisa menghapus dosa besar sekaligus. Pendapat kedua inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.


Dari sini dipahami pula bahwa do'a merupakan sebab ampunan bagi si mayit.


WaLLAAHUa'lam

AMAL KEBAIKAN YANG DITUJUKAN PADA MAYIT DAPAT MELEBUR DOSA

Contohnya adalah sedekah. Amalan sedekah ini bermanfaat bagi mayit berdasarkan dalil yang shahih dan tegas serta berdasarkan kesepakatan para ulama. Begitu pula dengan memerdekakan dan haji bagi si mayit juga bermanfaat. Terdapat hadits shahih dalam Bukhari-Muslim yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ


“Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki utang puasa, maka ahli warisnya yang  nanti mempuasakan dirinya." (HR. Bukhari no. 1952 dan Muslim no. 1147)


Terdapat pula hadits semisal itu mengenai puasa nadzar dari riwayat yang lain. Amalan-amalan tadi tidak bisa kita pertentangkan dengan ayat,


وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إلَّا مَا سَعَى


“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya." (QS. An Najm: 39.)


Hal ini disebabkan dua alasan:


1. Telah terdapat dalil-dalil yang shahih yang mutawatir (lewat jalur yang banyak) ditambah dengan kesepakatan para ulama salaf bahwa seorang mukmin akan mendapatkan manfaat dari amalan yang bukan ia usahakan. Seperti dari do'a dan permintaan ampun dari para malaikat padanya sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta'ala,


الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيُؤْمِنُونَ بِهِ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ آمَنُوا


“(Malaikat-malaikat) yang memikul 'Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Rabbnya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman." (QS. Ghofir (Al Mu'min)


Begitu pula dengan firman Allah Ta'ala,


وَمِنَ الْأَعْرَابِ مَنْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَيَتَّخِذُ مَا يُنْفِقُ قُرُبَاتٍ عِنْدَ اللَّهِ وَصَلَوَاتِ الرَّسُولِ


“Di antara orang-orang Arab Badwi itu ada orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan memandang apa yang dinafkahkannya (di jalan Allah) itu, sebagai jalan untuk mendekatkannya kepada Allah dan sebagai jalan untuk memperoleh doa Rasul." (QS. At Taubah: 99)


وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَات


“Dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan." (QS. Muhammad: 19.)


Seperti juga do'a orang yang melaksanakan shalat jenazah pada si mayit dan bagi orang –beriman- berziarah ke kuburnya.


2. Ayat di atas (surat An Najm ayat 39) secara tekstual tidaklah menunjukkan bahwa manusia akan mendapatkan manfaat dari hasil usahanya saja. Tidaklah dipahami bahwa ia tidak memiliki atau tidak berhak selain dari yang ia usahakan atau usaha orang lain tidak akan ia peroleh manfaatnya. Yang tepat adalah Allah masih mungkin memberinya manfaat dan rahmat dari amalan orang lain dan itu tidak menghalangi sama sekali. Sebagaimana Allah merahmati hamba dengan memberinya sebab agar keluar dari kesempitan. Allah subhanahu wa ta'ala dengan hikmah dan rahmat-Nya menyayangi hamba dengan sebab yang ia lakukan dan ini akan mengokohkannya dan semakin merahmatinya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


مَا مِنْ رَجُلٍ يَدْعُو لِأَخِيهِ بِدَعْوَةِ إلَّا وَكَّلَ اللَّهُ بِهِ مَلَكًا كُلَّمَا دَعَا لِأَخِيهِ قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ : آمِينَ وَلَك بِمِثْلِ


“Tidaklah seseorang mendoakan saudaranya dengan suatu do'a melainkan Allah akan mengutus malaikat yang bertugas ketika ia berdo'a kepada saudaranya, malaikat itu pun berkata, “Aamiin (semoga Allah kabulkan), engkau pun akan dapat semisalnya." (HR. Muslim no. 2733)


Sebagaimana terdapat hadits, di mana Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


مَنْ صَلَّى عَلَى جِنَازَةٍ فَلَهُ قِيرَاطٌ ؛ وَمَنْ تَبِعَهَا حَتَّى تُدْفَنَ فَلَهُ قِيرَاطَانِ ؛ أَصْغَرُهُمَا مِثْلُ أُحُدٍ


“Barangsiapa yang shalat jenazah, maka ia akan mendapatkan satu qiroth. Barangsiapa yang menambah dengan mengikutinya hingga dikuburkan, maka ia akan mendapatkan dua qiroth. Minimal ukuran qiroth adalah semisal gunung Uhud." (HR. Muslim no. 945)


Sebagaimana Allah merahmati orang yang melaksanakan shalat jenazah lantas berdo'a untuk si mayit, demikian pula si mayit dirahmati dengan do'a orang yang masih hidup untuknya.


WaLLAAHUa'lam

SYAFA'AT RASULULLAAH SAW PELEBUR DOSA

Sebagaimana telah terdapat hadits mutawatir (dengan jalur periwayatan yang banyak) yang membicarakan tentang syafa'at. Seperti sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits yang shahih,


شَفَاعَتِي لِأَهْلِ الْكَبَائِرِ مِنْ أُمَّتِي


“Syafa'atku untuk pelaku dosa besar dari umatku." (HR. Abu Daud no. 4739, Tirmidzi no. 2435 dan Ahmad 3: 213)


Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda,


خُيِّرْت بَيْنَ أَنْ يَدْخُلَ نِصْفُ أُمَّتِي الْجَنَّةَ ؛ وَبَيْنَ الشَّفَاعَةِ فَاخْتَرْت الشَّفَاعَةَ لِأَنَّهَا أَعَمُّ وَأَكْثَرُ ؛ أَتَرَوْنَهَا لِلْمُتَّقِينَ ؟ لَا . وَلَكِنَّهَا لِلْمُذْنِبِينَ المتلوثين الْخَطَّائِينَ


“Separuh dari umatku akan dipilih untuk masuk surga atau akan diberi syafa'at. Maka aku pun memilih agar umatku diberi syafa'at kareana itu tentu lebih umum dan lebih banyak. Apakah syafa'at itu hanya untuk orang bertakwa? Tidak. Syafa'at itu untuk mereka yang terjerumus dalam dosa (besar)." (HR. Tirmidzi no. 2441, Ibnu Majah no. 4317 dan Ahmad 2: 75.)


Dalam riwayat Tirmidiz, dari 'Auf bin Malik Al Asyja'iy, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


أَتَانِى آتٍ مِنْ عِنْدِ رَبِّى فَخَيَّرَنِى بَيْنَ أَنْ يُدْخِلَ نِصْفَ أُمَّتِى الْجَنَّةَ وَبَيْنَ الشَّفَاعَةِ فَاخْتَرْتُ الشَّفَاعَةَ وَهِىَ لِمَنْ مَاتَ لاَ يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا


“Ada yang mendatangiku dari sisi Rabbku, aku disuruhh memilih antara memasukkan separuh dari umatku ke dalam surga atau memilih syafa'at. Aku pun memilih syafa'at dan ini akan diperoleh oleh orang yang mati dalam keadaan tidak berbuat syirik pada Allah dengan sesuatu apa pun" (HR. Tirmidzi no. 2441.)


Mari perbanyak melakukan shalawat pada RasuluLLAAH SAW agar di Akhirat kelak kita dapat syafa'at beliau.


WaLLAAHUa'lam

MUSIBAH DUNIA PELEBUR DOSA

Sebagaimana disebutkan dalam shahihain (Bukhari-Muslim), Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


مَا يُصِيبُ الْمُؤْمِنَ مِنْ وَصَبٍ ؛ وَلَا نَصَبٍ ؛ وَلَا هَمٍّ ؛ وَلَا حَزَنٍ ؛ وَلَا غَمٍّ ؛ وَلَا أَذًى – حَتَّى الشَّوْكَةُ يَشَاكُهَا – إلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ


“Tidaklah menimpa seorang mukmin berupa rasa sakit (yang terus menerus), rasa capek, kekhawatiran (pada pikiran), sedih (karena sesuatu yang hilang) ( Kata “وَلَا هَمٍّ ؛ وَلَا حَزَنٍ” keduanya adalah penyakit hati.), kesusahan hati ( Kata “غَمٍّ” termasuk penyakit hati yang berarti kesempitan (kesulitan) yang diderita hati. Ada ulama yang merinci makna dari tiga kata “الْهَمّ وَالْغَمّ وَالْحُزْن”. Kata “الْهَمّ” muncul dari pikiran yang timbul bentuk menyakiti dari orang lain. Kata “وَالْغَمّ” timbul pada hati. Sedangkan "وَالْحُزْن" timbul karena sesuatu yang hilang sehingga membuat susah.) atau sesuatu yang menyakiti (Ada yang menyatakan bahwa maksudnya adalah umum. Ada yang menyatakan khusus pada bentuk menyakiti dari orang lain padanya.) sampai pun duri yang menusuknya melainkan akan dihapuskan dosa-dosanya." (HR. Bukhari no. 5641 dan Muslim no. 2573)


Kita disuruh untuk bersabar dan bertawakal ketika menghadapi cobaan, jauhi keluh kesah karena itu hanya akan menggiring kita kepada menolak takdir ALLAH Ta'ala.


WaLLAAHUa'lam

MAKAN JANGAN BOROS


وَعَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ, عَنْ أَبِيهِ, عَنْ جَدِّهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – – كُلْ, وَاشْرَبْ, وَالْبَسْ, وَتَصَدَّقْ فِي غَيْرِ سَرَفٍ, وَلَا مَخِيلَةٍ – أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ, وَأَحْمَدُ, وَعَلَّقَهُ اَلْبُخَارِيُّ.


Dari 'Amr bin Syu'aib, dari bapaknya, dari kakeknya, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Makan dan minumlah, berpakaianlah, juga bersedekahlah tanpa boros dan bersikap sombong." (HR. Abu Daud, Ahmad, dan dikeluarkan oleh Al-Bukhari secara mu'allaq). [HR. Abu Daud Ath-Thayalisi, 4:19-20; An-Nasai, 5:79; Ibnu Majah, no. 3605; Ahmad, 11:294,312].


Faedah Hadits

1. Sedekah yang dimaksud dalam hadits ini adalah sedekah sunnah karena sedekah wajib terbatas ukurannya atau besarannya, seperti zakat (maal) dan zakat fithri, sehingga tidak mungkin dibayangkan israf di dalamnya.

2. Israf adalah belebihan dalam ucapan dan perbuatan. Namun istilah israf lebih terkenal digunakan untuk pengeluaran harta yang berlebihan.

3. Israf itu berlebihan dalam mengeluarkan sesuatu, sedangkan tabdzir (boros) berarti mengeluarkan harta bukan pada tempatnya. Tabdzir tidak terkait dengan jumlah namun terkait dengan di manakah disalurkan. Makanya orang yang tabdzir disebut "saudaranya setan" karena mereka menyalurkan hartanya untuk yang haram. Tabdzir itu lebih parah dari israf, sebagaimana kita dapat merujuk pada surah Al-An'am ayat 141 dan Al-Isra' ayat 27.

Allah Ta'ala berfirman.


وَلَا تُسْرِفُواۚإِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ


“Dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan." (QS. Al-An'am: 141)


Allah Ta'ala berfirman tentang sifat boros,


وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ


“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan." (QS. Al Isra': 26-27).


4. Makan dan minum termasuk kesenangan dunia yang mubah.

5. Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa israf dalam makan itu tercela.

6. Hadits ini menunjukkan bahwa mubahnya pakaian.

7. Dilarang israf dan khuyala’ (sombong) dalam berpakaian.

8. Seorang muslim diperintahkan untuk bersedekah jika ia memiliki kelebihan dari yang mencukupi diri dan keluarganya.

9. Kita juga diperintahkan untuk menghabiskan makanan. 

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


وَلاَ يَمْسَحْ يَدَهُ بِالْمِنْدِيلِ حَتَّى يَلْعَقَ أَصَابِعَهُ فَإِنَّهُ لاَ يَدْرِى فِى أَىِّ طَعَامِهِ الْبَرَكَةُ


“Janganlah dia sapu tangannya dengan serbet sebelum dia jilati jarinya. Karena dia tidak tahu makanan mana yang membawa berkah." (HR. Muslim no. 2033)


Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, "Menjilat jari (seusai makan) adalah sesuatu yang disyari'atkan (dianjurkan). Alasannya sebagaimana yang disebutkan di akhir hadits, yaitu karena orang yang makan tidak mengetahui di manakah barokah yang ada pada makanannya. Makanan yang disajikan pada orang yang makan benar-benar ada barokahnya. Namun tidak diketahui apakah barokahnya ada pada makanan yang dimakan, atau pada makanan yang tersisa pada jari atau pada mangkoknya, atau pada suapan yang terjatuh. Oleh karena itu, sudah sepatutnya seseorang memperhatikan ajaran ini agar ketika makan pun bisa meraih barokah. Pengertian barokah pada asalnya adalah bertambahnya dan tetapnya kebaikan serta mendapatkan kesenangan dengannya.”


WaLLAAHUa'lam

DAHULUKAN MAKAN DARIPADA SHALAT


وَعَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قاَلَ: إِذَا قُدِّمَ العَشَاءُ فَابْدَأُوْا بِهِ قَبْلَ أَنْ تُصَلُّوْا المغْرِبَ


مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ


Dari Anas radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Apabila makan malam telah dihidangkan, maka makanlah sebelum shalat Maghrib." (Muttafaqun 'alaih) [HR. Bukhari, no. 672 dan Muslim, no. 557]


Faedah hadits

1. Al-'asya: adalah makanan yang disantap pada petang hari. Penduduk Madinah biasa menyantap 'asya' sebelum Maghrib. Penduduk Madinah biasa mengolah lahan pertanian, mereka barulah selesai pada petang hari. Inilah yang jadi kebiasaan penduduk Najd, mereka makan malam sebelum Maghrib. Adapun sarapan (al-ghadaa') dilakukan sebelum Zhuhur. Yang disantap pun ringan yaitu kurma dan susu. Kemudian beralih setelah itu, orang-orang pada menyantap makan malam bakda Maghrib. Pada masa kini, kebiasaan 'asya' malah menjadi bakda Isya, bahkan lebih malam lagi. Keadaan yang terakhir ini malah dampak negatifnya begitu besar. Hanya Allah yang memberikan pertolongan.

2. Jumhur ulama menganggap bahwa kata perintah dalam hadits untuk menyantap makanan sebelum Maghrib dihukumi sebagai anjuran (sunnah, tidak wajib). Inilah pendapat yang lebih kuat. Ibnu 'Abdil Barr rahimahullah menyatakan adanya konsensus ulama (ijmak ulama) akan sahnya shalat orang yang tetap menyempurnakan shalat (tanpa meninggalkan rukun shalat) dibandingkan makan. Artinya, siapa saja yang mendahulukan shalat dari makan, shalatnya sah.

3. Lafaz dalam hadits Aisyah adalah, “Jika makan malam telah diletakkan, lantas iqamah dikumandangkan, maka dahulukanlah makan malam." (HR. Bukhari, no. 671 dan Muslim, no. 560). Lafaz hadits Aisyah ini umum. Lafaznya berlaku bukan hanya shalat Maghrib saja. Hal ini dikuatkan pula dengan lafaz hadits, “Laa shalaata bi hadhrati ath-tha'aam, tidak ada shalat ketika makanan telah tersajikan.”

4. Hadits ini menunjukkan bahwa jika makanan telah dihidangkan ketika waktu shalat Maghrib, menyantap makanan tersebut lebih didahulukan dibandingkan dengan shalat. Bagi yang sedang menyantap, hendaklah menyantapnya sampai hajatnya selesai tanpa tergesa-gesa. Hal ini dikarenakan shalat itu membangun hubungan antara kita dengan Allah. Shalat tidaklah sempurna sampai hati kita itu hadir dan selesai dari berbagai syawaaghil (pikiran yang mengganggu).

5. Mendahulukan makan dibandingkan shalat bertujuan untuk khusyuk dan menghadirkan hati dalam shalat.

6. Masalah mendahulukan makan bukanlah berarti kita meremehkan perkara shalat atau mendahulukan hak manusia. Bahkan mendahulukan makan malah termasuk mengagungkan shalat hingga hati menerimanya.

7. Hadits ini secara eksplisit (secara zhahir) menunjukkan bahwa mendahulukan makan di sini tidak dikaitkan apakah butuh makan ataukah tidak. Akan tetapi, para ulama menyatakan bahwa yang dimaksudkan dengan mendahulukan makan adalah ketika hati itu membutuhkan untuk makan dan benar-benar terkait dengannya (artinya: benar-benar lapar). Sedangkan, jika memang tidak ada hajat, seorang muslim sebaiknya tidak membiasakan untuk menjadikannya sebagai adat atau kebiasaan, yaitu menyantap makan malam terus-terusan pada waktu shalat. Karena menyengaja sama saja dengan melalaikan shalat berjamaah.

8. Hadits ini secara eksplisit menunjukkan pula bahwa mengakhirkan shalat jika makanan telah tersaji walaupun akhirnya luput dari shalat berjamaah atau luput dari shalat pada awal waktu. Namun, jika waktu shalat tersisa sedikit, sehingga kalau mendahulukan makan malah kita mengerjakan shalat di luar waktu, maka dalam kondisi ini tetap mendahulukan shalat dibandingkan makan agar shalat tetap dikerjakan pada waktunya. Inilah pendapat jumhur (mayoritas) ulama.


WaLLAAHUa'lam

ADAB MINTA IZIN

Surat An-Nuur ayat 27-29 mengajarkan kita tentang sopan santun memasuki rumah orang lain, ditambahkan juga dengan hadits-hadits yang membicarakannya.


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَى أَهْلِهَا ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ (27) فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فِيهَا أَحَدًا فَلَا تَدْخُلُوهَا حَتَّى يُؤْذَنَ لَكُمْ وَإِنْ قِيلَ لَكُمُ ارْجِعُوا فَارْجِعُوا هُوَ أَزْكَى لَكُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ (28) لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ مَسْكُونَةٍ فِيهَا مَتَاعٌ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا تَكْتُمُونَ (29)


“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat. Jika kamu tidak menemui seorangpun di dalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu: “Kembali (saja)lah, maka hendaklah kamu kembali. Itu bersih bagimu dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Tidak ada dosa atasmu memasuki rumah yang tidak disediakan untuk didiami, yang di dalamnya ada keperluanmu, dan Allah mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan." (QS. An-Nuur: 27-29)


Ayat tersebut menunjukkan kepada hambanya yang beriman agar tidak masuk rumah orang lain tanpa izin. Di antara mudaratnya adalah:


1. Tanpa meminta izin ketika memasuki rumah orang lain, tentu akan mudah sekali melihat aurat yang berada dalam rumah. Rumah bagi muslim adalah untuk menutupi auratnya pula sebagaimana baju untuk menutupi aurat badannya.

2. Mudah untuk berbuat yang bukan-bukan ketika masuk tanpa izin seperti mencuri dan niatan jelek lainnya.


Hadits tentang Adab Meminta Izin


Dari Abu Musa Al-Asy'ari radhiyallahu 'anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


الاسْتِئْذَانُ ثَلاثٌ ، فَإنْ أُذِنَ لَكَ وَإِلاَّ فَارْجِعْ


“Meminta izin itu tiga kali. Maka, jika diizinkan, engkau boleh masuk, dan jika tidak maka kembalilah." (HR. Bukhari, no. 6245 dan Muslim, no. 2157)


Dari Sahl bin Sa'ad radhiyallahu 'anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


إنَّمَا جُعِلَ الاسْتِئذَانُ مِنْ أجْلِ البَصَرِ


“Sesungguhnya ditetapkannya meminta izin itu hanya karena masalah menjaga pandangan." (HR. Bukhari, no. 6241 dan Muslim, no. 2156)


Dari Rib'i bin Hirasy, ia berkata,


حَدَّثَنَا رَجُلٌ مِنْ بَنِي عَامِرٍ أنَّهُ اسْتَأذَنَ عَلَى النَّبيِّ – صلى الله عليه وسلم – وَهُوَ في بيتٍ ، فَقَالَ : أألِج ؟ فَقَالَ رسول الله – صلى الله عليه وسلم – لِخَادِمِهِ : (( أُخْرُجْ إِلَى هَذَا فَعَلِّمهُ الاسْتِئذَانَ ، فَقُلْ لَهُ : قُلِ : السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ ، أأدْخُل ؟ )) فَسَمِعَهُ الرَّجُلُ ، فَقَالَ : السَّلامُ عَلَيْكُمْ ، أَأَدْخُل ؟ فَأذِنَ لَهُ النَّبيُّ – صلى الله عليه وسلم – فدخلَ .


“Seorang lelaki dari Bani 'Amir bercerita kepada kami bahwa ia pernah meminta izin kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallamketika beliau ada di rumah. Orang tersebut berkata, 'Apakah aku boleh masuk?' Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallampun berkata kepada pembantunya, 'Keluarlah kepada orang tersebut, lalu ajarkanlah ia cara meminta izin.' Ajarkanlah kepadanya, 'Ucapkanlah assalaamu 'alaikum, bolehkah aku masuk?' Orang tersebut pun mendengarnya, lantas ia mengucapkan, 'Assalamu'alaikum, bolehkah aku masuk?' Lantas Nabi shallallahu 'alaihi wa sallampun mengizinkannya, setelah itu ia pun masuk." (HR. Abu Daud, no. 5177 dengan sanad shahih)


Dari Kildah bin Al-Hambal radhiyallahu 'anhu, ia berkata, "Aku pernah mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, aku menemui beliau dan aku ketika itu tidak mengucapkan salam. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallamlantas mengatakan,


ارْجِعْ فَقُلْ : السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ ، أَأَدْخُل ؟


'Kembalilah, lalu ucapkanlah assalaamu 'alaikum, bolehkah aku masuk?'" (HR. Abu Daud, no. 5176 dan Tirmidzi, no. 2710. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan)


Cara meminta izin adalah dengan memperkenalkan nama.


Dari Anas radhiyallahu 'anhu, di dalam haditsnya yang masyhur tentang isra'. Ia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


ثُمَّ صَعَدَ بي جِبْريلُ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَاسْتَفْتَحَ ، فقِيلَ : مَنْ هذَا ؟ قَالَ : جِبْريلُ، قِيلَ : وَمَنْ مَعَكَ ؟ قَالَ : مُحَمَّدٌ ، ثُمَّ صَعَدَ إِلَى السَّمَاءِ الثَّانِيَةِ فاسْتَفْتَحَ ، قِيلَ : مَنْ هَذَا ؟ قَالَ : جِبْريل ، قِيلَ : وَمَنْ مَعَكَ ؟ قَالَ : مُحَمَّدٌ وَالثَّالِثَةِ وَالرَّابِعَةِ وَسَائِرِهنَّ وَيُقَالُ فِي بَابِ كُلِّ سَمَاءٍ : مَنْ هَذَا ؟ فَيَقُولُ : جِبْريلُ


“Kemudian Jibril membawaku naik ke langit dunia, ia meminta dibukakan pintunya. Maka ditanya, 'Siapakah ini?' Jibril menjawab, 'Ini Jibril.' Lalu ditanya lagi, 'Lalu siapakah yang bersamamu?' Jibril menjawab, 'Bersama Muhammad.' Kemudian naik ke langit kedua, maka ditanya lagi, 'Siapakah ini?' Jibril menjawab, 'Ini Jibril.' Lalu ditanya lagi, 'Lalu siapakah yang bersamamu?' Jibril menjawab, 'Bersama Muhammad.' Lalu langit naik ke langit ketiga, keempat, dan lainnya. Di setiap pintu langit ditanya, 'Siapakah ini?' Dijawab, 'Ini Jibril.'" (HR. Muslim, no. 3207 dan Muslim, no. 162)


Dari Abu Dzar radhiyallahu 'anhu, ia berkata,


خَرَجْتُ لَيْلَةً مِنَ اللَّيَالِي ، فَإذَا رسول الله – صلى الله عليه وسلم – يَمْشِي وَحْدَهُ، فَجَعَلْتُ أمْشِي فِي ظلِّ القمَرِ، فَالْتَفَتَ فَرَآنِي ، فَقَالَ: (( مَنْ هَذَا ؟ )) فقلتُ : أَبُو ذَرٍّ . متفقٌ عَلَيْهِ .


“Aku keluar pada suatu malam. Ternyata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallamsedang berjalan seorang diri. Maka, aku mulai berjalan di bawah sinar bulan. Beliau lalu menoleh, kemudian melihatku. Lalu berkata, 'Siapakah ini?' Aku menjawab, 'Abu Dzar.' (HR. Bukhari, no. 6443 dan Muslim, no. 94/153)


Dari Ummu Hani radhiyallahu 'anha, ia berkata,


أتيتُ النَّبيَّ – صلى الله عليه وسلم – وَهُوَ يَغْتَسِلُ وَفَاطِمَةُ تَسْتُرُهُ ، فَقَالَ : (( مَنْ هذِهِ ؟ )) فقلتُ : أنا أُمُّ هَانِىءٍ


“Aku datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallamketika beliau sedang mandi, dan Fatimah menutupinya. Maka beliau berkata, 'Siapakah ini?' Aku menjawab, 'Ummu Hani.' (HR. Bukhari, no. 357 dan Muslim, no. 336)


Dari Jabir radhiyallahu 'anhu, ia berkata,


أتَيْتُ النبيَّ – صلى الله عليه وسلم – فَدَقَقْتُ البَابَ ، فَقَالَ : (( مَنْ هَذَا ؟ )) فَقُلتُ : أَنَا ، فَقَالَ : (( أنَا ، أنَا ! )) كَأنَّهُ كَرِهَهَ


“Aku datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu mengetuk pintu. Maka beliau berkata, 'Siapakah ini?' Aku menjawab, 'Aku.' Beliau lantas berkata, 'Aku, aku.' Seolah beliau membencinya." (HR. Bukhari, no. 6250 dan Muslim, no. 2155)


WaLLAAHUa'lam

LARANGAN MENGINTIP

Dalam kehidupan sehari-hari ketika bertamu kerumah seseorang, namun pemilik rumah tidak menyahut, mengintip ke dalam rumah sering terjadi ketika seseorang penasaran apakah ada orang di dalam rumah atau tidak. Padahal Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sangat mencela perbuatan ini dan memberi ancaman kepada para pengintip, sebagaimana dalam sabdanya,


لو أنّ امرأ اطلع عليك بغير إذن فخذفته بحصاة ففقأت عينه لم يكن عليك جناح


“Andaikan ada orang melihatmu di rumah tanpa izin, engkau melemparnya dengan batu kecil lalu kamu cungkil matanya, maka tidak ada dosa bagimu." (HR. Bukhari Kitabul Isti'dzan)


عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِك أَنَّ رَجُلًا اطَّلَعَ مِنْ بَعْضِ حُجَرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَامَ إِلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِشْقَصٍ أَوْ بِمَشَاقِصَ فَكَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَيْهِ يَخْتِلُ الرَّجُلَ لِيَطْعُنَهُ


“Dari Anas bin Malik radhiallahu 'anhu sesungguhnya ada seorang laki-laki mengintip sebagian kamar Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu nabi berdiri menuju kepadanya dengan membawa anak panah yang lebar atau beberapa anak panah yang lebar, dan seakan-akan aku melihat beliau menanti peluang ntuk menusuk orang itu." (HR. Bukhari Kitabul Isti'dzan)


WaLLAAHUa'lam

LARANGAN MENGUPING

Dari Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


وَمَنِ اسْتَمَعَ إِلَى حَدِيثِ قَوْمٍ وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ أَوْ يَفِرُّونَ مِنْهُ ، صُبَّ فِى أُذُنِهِ الآنُكُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ


“Barangsiapa menguping omongan orang lain, sedangkan mereka tidak suka (kalau didengarkan selain mereka), maka pada telinganya akan dituangkan cairan tembaga pada hari kiamat." (HR. Bukhari no. 7042). Imam Adz Dzahabi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan al-aanuk adalah tembaga cair.


Yang namanya tembaga cair tentu saja dalam keadaan yang begitu panas. Na'udzu billah.


Ibnu Batthol mengatakan bahwa ada ulama yang berpendapat, hadits yang ada menunjukkan bahwa yang mendapatkan ancaman hanyalah untuk orang yang "nguping" dan yang membicarakan tersebut tidak suka yang lain mendengarnya.


Namun yang tepat jika tidak diketahui mereka suka ataukah tidak, maka baiknya tidak menguping berita tersebut kecuali dengan izin mereka. Karena ada hadits di mana Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda bahwa terlarang masuk mendengar orang yang sedang berbisik-bisik (berbicara empat mata). Seperti ini dilarang kecuali dengan izin yang berbicara.


WaLLAAHUa'lam

BOLEH CURIGA BILA ADA BUKTI

Dari Zaid bin Wahab, ia berkata,


عَنْ زَيْدِ بْنِ وَهْبٍ قَالَ أُتِىَ ابْنُ مَسْعُودٍ فَقِيلَ هَذَا فُلاَنٌ تَقْطُرُ لِحْيَتُهُ خَمْرًا فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ إِنَّا قَدْ نُهِينَا عَنِ التَّجَسُّسِ وَلَكِنْ إِنْ يَظْهَرْ لَنَا شَىْءٌ نَأْخُذْ بِهِ


Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu telah didatangi oleh seseorang, lalu dikatakan kepadanya, "Orang ini jenggotnya bertetesan khamr." Ibnu Mas'ud pun berkata, "Kami memang telah dilarang untuk tajassus (mencari-cari kesalahan orang lain). Tapi jika tampak sesuatu bagi kami, kami akan menindaknya." (HR. Abu Daud no. 4890).


Sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi dalam Riyadhus Sholihin bahwa terlarang berburuk sangka pada kaum muslimin tanpa ada alasan yang mendesak.


WaLLAAHUa'lam

MENANGIS DALAM SHALAT

Apakah benar menangis membatalkan shalat? Bentuk menangis seperti apa yang membatalkan shalat?


Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, ada beda pendapat di antara para ulama mengenai bentuk menangis yang membatalkan shalat.


Mari kita lihat terlebih dahulu dalil-dalil yang berkaitan dengan masalah ini.


Pujian Allah bagi orang-orang yang menangis dalam shalatnya. Ayat pertama,


إِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ مِنْ قَبْلِهِ إِذَا يُتْلَى عَلَيْهِمْ يَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ سُجَّدًا (107) وَيَقُولُونَ سُبْحَانَ رَبِّنَا إِنْ كَانَ وَعْدُ رَبِّنَا لَمَفْعُولًا (108) وَيَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعًا (109)


“Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud, dan mereka berkata: "Maha Suci Tuhan kami, sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi." Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu'." (QS. Al-Isra': 107-109)


Dalam ayat lainnya disebutkan,


وَمِمَّنْ هَدَيْنَا وَاجْتَبَيْنَا إِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ آَيَاتُ الرَّحْمَنِ خَرُّوا سُجَّدًا وَبُكِيًّا


“Dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis." (QS. Maryam: 58)


Dari 'Abdullah bin Asy-Syikkhir, ia berkata,


رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُصَلِّى وَفِى صَدْرِهِ أَزِيزٌ كَأَزِيزِ الرَّحَى مِنَ الْبُكَاءِ -صلى الله عليه وسلم-


"Aku pernah melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam shalat, ketika itu beliau menangis. Dari dada beliau keluar rintihan layaknya air yang mendidih." (HR. Abu Daud no. 904 dan Tirmidzi)


Ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhuma berkata, "Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sakit keras, ada seseorang yang menanyakan imam shalat kemudian beliau bersabda,


مُرُوا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ


"Perintahkan pada Abu Bakr agar ia mengimami shalat." 'Aisyah lantas berkata,


إِنَّ أَبَا بَكْرٍ رَجُلٌ رَقِيقٌ ، إِذَا قَرَأَ غَلَبَهُ الْبُكَاءُ


“Sesungguhnya Abu Bakr itu orang yang sangat lembut hatinya. Apabila ia membaca Al-Qur'an, ia tidak dapat menahan tangisnya." Namun beliau bersabda, "Tetap perintahkan Abu Bakr untuk menjadi imam." (Muttafaqun 'alaih. HR. Bukhari no. 713 dan Muslim no. 418)


Dalam riwayat lain disebutkan, dari 'Aisyah, ia berkata,"


إِنَّ أَبَا بَكْرٍ إِذَا قَامَ فِى مَقَامِكَ لَمْ يُسْمِعِ النَّاسَ مِنَ الْبُكَاءِ


“Sesungguhnya Abu Bakr apabila menggantikanmu sebagai imam, orang-orang tidak mendengar bacaan shalatnya karena tangisannya.”


Imam Nawawi membawakan dua hadits di atas dalam kitab Riyadh Ash-Shalihin dalam bab 54 "Keutamaan Menangis Karena Takut Kepada Allah Ta'ala dan Rindu pada-Nya."


Dalil-dalil di atas menunjukkan secara implisit bahwa orang yang menangis dalam shalat karena takut pada Allah, tidak membatalkan shalat. Juga telah ada bukti secara eksplisit bahwa Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam dan sahabat Abu Bakr radhiyallahu 'anhu menangis dalam shalatnya.


Lantas menangis seperti apa yang dibolehkan dan tidak dibolehkan?


Syaikh Muhammad bin Shalih Al-:Utsaimin rahimahullah berkata, 'Menangis ketika membaa Al-Qur'an, saat sujud, begitu pula saat berdo'a adalah sifat orang-orang shalih. Bahkan orang seperti itu layak dipuji."


Adapun jika menangis karena urusan duniawi dan tidak bisa dicegah, shalatnya tidaklah batal. Adapun jika mampu untuk dicegah dan menangisnya dengan suara, maka shalatnya batal menurut para imam dari empat madzhab. Namun Imam Syafi'i dan Imam Ahmad dalam hal ini menyatakan batal dengan syarat jika muncul dua huruf.


Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin rahimahullah menerangkan, "Menangis dalam shalat jika karena takut pada Allah dan mengingat perkara akhirat, begitu pula karena merenung ayat yang dibaca seperti saat melewati ayat-ayat yang menyebutkan janji dan ancaman, maka tidak membatalkan shalat.


Adapun jika menangis tersebut karena musibah yang menimpa atau semacamnya, maka membatalkan shalat. Bisa membatalkan karena menangis tersebut berkaitan dengan perkara di luar shalat. Karenanya memikirkan perkara-perkara di luar shalat atau perkara lain mesti dihilangkan agar tidak membatalkan shalat. Intinya, memikiran berbagai macam hal yang tidak terkait dengan shalat berakibat kekurangan saja di dalam shalatnya."


WaLLAAHUa'lam

KEUTAMAAN MEMBAHAGIAKAN ORANG LAIN

Keutamaan orang yang beri kebahagiaan pada orang lain dan mengangkat kesulitan dari orang lain disebutkan dalam hadits Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


وَاللَّهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِى عَوْنِ أَخِيهِ


“Allah senantiasa menolong hamba selama ia menolong saudaranya." (HR. Muslim no. 2699).


Dari Ibnu 'Umar, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


وَمَنْ كَانَ فِى حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِى حَاجَتِهِ


“Siapa yang biasa membantu hajat saudaranya, maka Allah akan senantiasa menolongnya dalam hajatnya." (HR. Bukhari no. 6951 dan Muslim no. 2580).


Dari Ibnu 'Umar, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ , وَأَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى سُرُورٌ تُدْخِلُهُ عَلَى مُسْلِمٍ , أَوْ تَكَشِفُ عَنْهُ كُرْبَةً , أَوْ تَقْضِي عَنْهُ دَيْنًا , أَوْ تَطْرُدُ عَنْهُ جُوعًا , وَلأَنْ أَمْشِيَ مَعَ أَخِ فِي حَاجَةٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ يَعْنِي مَسْجِدَ الْمَدِينَةِ شَهْرًا


“Manusia yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling memberikan manfaat bagi manusia. Adapun amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah membuat muslim yang lain bahagia, mengangkat kesusahan dari orang lain, membayarkan utangnya atau menghilangkan rasa laparnya. Sungguh aku berjalan bersama saudaraku yang muslim untuk sebuah keperluan lebih aku cintai daripada beri'tikaf di masjid ini -masjid Nabawi- selama sebulan penuh." (HR. Thabrani di dalam Al Mu'jam Al Kabir no. 13280, 12: 453).


Lihatlah saudaraku, bagaimana sampai membahagiakan orang lain dan melepaskan kesulitan mereka lebih baik dari i'tikaf di Masjid Nabawi sebulan lamanya.


Al Hasan Al Bashri pernah mengutus sebagian muridnya untuk membantu orang lain yang sedang dalam kesulitan. Beliau mengatakan pada murid-muridnya tersebut, “Hampirilah Tsabit Al Banani, bawa dia bersama kalian.” Ketika Tsabit didatangi, ia berkata, “Maaf, aku sedang i'tikaf.”


Murid-muridnya lantas kembali mendatangi Al Hasan Al Bashri, lantas mereka mengabarinya. Kemudian Al Hasan Al Bashri mengatakan, "Wahai A'masy, tahukah engkau bahwa bila engkau berjalan menolong saudaramu yang butuh pertolongan itu lebih baik daripada haji setelah haji?”


Lalu mereka pun kembali pada Tsabit dan berkata seperti itu. Tsabit pun meninggalkan i'tikaf dan mengikuti murid-murid Al Hasan Al Bashri untuk memberikan pertolongan pada orang lain.


WaLLAAHUa'lam

4 KETENANGAN DALAM MAJELIS ILMU

PERTAMA


Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ


“Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah membaca Kitabullah dan saling mengajarkan satu dan lainnya melainkan akan turun kepada mereka sakinah (ketenangan), akan dinaungi rahmat, akan dikeliling para malaikat dan Allah akan menyebut-nyebut mereka di sisi makhluk yang dimuliakan di sisi-Nya." (HR. Muslim, no. 2699)


Ada empat keutamaan yang disebutkan bagi orang yang duduk di rumah Allah dan mempelajari kitab Allah:


Pertama: Akan raih ketenangan.


Sebagaimana disebutkan saat dibacakan surat Al-Kahfi. Disebutan oleh Al-Barra' bin 'Azib, ia berkata,


بَيْنَمَا رَجُلٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – يَقْرَأُ ، وَفَرَسٌ لَهُ مَرْبُوطٌ فِى الدَّارِ ، فَجَعَلَ يَنْفِرُ ، فَخَرَجَ الرَّجُلُ فَنَظَرَ فَلَمْ يَرَ شَيْئًا ، وَجَعَلَ يَنْفِرُ ، فَلَمَّا أَصْبَحَ ذَكَرَ ذَلِكَ لِلنَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ « تِلْكَ السَّكِينَةُ تَنَزَّلَتْ بِالْقُرْآنِ »


“Ada seseorang yang sedang membaca (surat Al-Kahfi). Di sisinya terdapat seekor kuda yang diikat di rumah. Lantas kuda tersebut lari. Pria tersebut lantas keluar dan melihat-lihat ternyata ia tidak melihat apa pun. Kuda tadi ternyata memang pergi lari. Ketika datang pagi hari, peristiwa tadi diceritakan pada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, lantas beliau bersabda, "Ketenangan itu datang karena Al-Qur'an." (HR. Bukhari, no. 4839 dan Muslim, no. 795)


Imam Nawawi rahimahullah menyatakan, "Itulah yang menunjukkan keutamaan membaca Al-Qur'an. Al-Qur'an itulah sebab turunnya rahmat dan hadirnya malaikat. Hadits itu juga mengandung pelajaran tentang keutamaan mendengar Al-Qur'an.”


KEDUA


Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ


“Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah membaca Kitabullah dan saling mengajarkan satu dan lainnya melainkan akan turun kepada mereka sakinah (ketenangan), akan dinaungi rahmat, akan dikeliling para malaikat dan Allah akan menyebut-nyebut mereka di sisi makhluk yang dimuliakan di sisi-Nya." (HR. Muslim, no. 2699)


Ada empat keutamaan yang disebutkan bagi orang yang duduk di rumah Allah dan mempelajari kitab Allah:


Kedua: Akan dinaungi rahmat Allah.

Dalam Al-Qur'an juga disebutkan,


إِنَّ رَحْمَةَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ


“Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik." (QS. Al-A'raf: 56)


Dalam hadits Salman, ada yang berdzikir pada Allah, lantas Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lewat ketika itu, beliau pun bersabda,"


مَا كُنْتُمْ تَقُوْلُوْنَ ؟ فَإِنِّي رَأَيْتُ الرَّحْمَةَ تَنْزِلُ عَلَيْكُمْ ، فَأَحْبَبْتُ أَنْ أُشَارِكَكُمْ فِيْهَا


“Apa yang kalian ucapkan? Sungguh aku melihat rahmat turun di tengah-tengah kalian. Aku sangat suka sekali bergabung dalam majelis semacam itu." (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 1: 122. Al-Hakim menshahihkannya dan disepakati oleh Imam Adz-Dzahabi).


KETIGA


Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ


“Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah membaca Kitabullah dan saling mengajarkan satu dan lainnya melainkan akan turun kepada mereka sakinah (ketenangan), akan dinaungi rahmat, akan dikeliling para malaikat dan Allah akan menyebut-nyebut mereka di sisi makhluk yang dimuliakan di sisi-Nya." (HR. Muslim, no. 2699)


Ada empat keutamaan yang disebutkan bagi orang yang duduk di rumah Allah dan mempelajari kitab Allah:


Ketiga: Malaikat akan mengelilingi majelis ilmu.

Tanda bahwasanya malaikat ridha dan suka pada orang-orang yang berada dalam majelis ilmu.


وَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ


“Sesungguhnya malaikat meletakkan sayapnya sebagai tanda ridha pada penuntut ilmu." (HR. Abu Daud, no. 3641; Ibnu Majah, no. 223; At-Tirmidzi, no. 2682). 


Maksudnya, para malaikat benar-benar menghormati para penuntut ilmu. Atau maksudnya pula malaikat turun dan ikut dalam majelis ilmu.


KEEMPAT


Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ


“Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah membaca Kitabullah dan saling mengajarkan satu dan lainnya melainkan akan turun kepada mereka sakinah (ketenangan), akan dinaungi rahmat, akan dikeliling para malaikat dan Allah akan menyebut-nyebut mereka di sisi makhluk yang dimuliakan di sisi-Nya." (HR. Muslim, no. 2699)


Ada empat keutamaan yang disebutkan bagi orang yang duduk di rumah Allah dan mempelajari kitab Allah:


Keempat: Akan disebut oleh Allah di sisi makhluk-makhluk mulia.

Coba kalau kita di dunia ini disanjung-sanjung di hadapan presiden atau tokoh terkemuka, kita pasti merasa seperti berada di atas. Pujian bagi penuntut ilmu lebih dari itu. Karena mereka disanjung-sanjung di hadapan makhluk yang mulia.


Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, Allah Ta'ala berfirman,


أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِى وَأَنَا مَعَهُ حِينَ يَذْكُرُنِى فَإِنْ ذَكَرَنِى فِى نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِى نَفْسِى وَإِنْ ذَكَرَنِى فِى مَلإٍ ذَكَرْتُهُ فِى مَلإٍ خَيْرٍ مِنْهُ


“Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku pada-Ku. Aku bersamanya kala ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam dirinya, Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku di suatu kumpulan, maka aku akan menyebut-nyebutnya di kumpulan yang lebih baik daripada itu." (HR. Muslim, no. 2675)


Tak inginkah kita mendapatkan ketenangan jiwa dan keutamaan seperti dikemukakan dalam hadits di atas. Cobalah meraihnya dalam majelis ilmu syar'i, bukan pada majelis warung kopi, bukan majelis yang penuh dengan kesia-siaan.


WaLLAAHUa'lam