Thursday, August 6, 2020

LANJUTKAN atau TINGGALKAN

Belajar menjadi Walisantri

By Sofia Aini Abbas

Beberapa wali santri baru mulai gelisah, setelah putra/putrinya menelfon lalu curhat tentang kondisi mereka di pesantren. Juga beberapa walisantri lama  turut mengkhawatirkan kondisi psikologi mereka setelah setahun, dua tahun, bahkan tiga tahun mondok. Apalagi dalam kondisi pandemi saat ini dan anak² sama sekali belum boleh dikunjungi orang tua
Beberapa kali saya mendapat inbox juga Chat melalui WA, intinya sama.

"Anak saya nggak betah Bu, karena bla bla...dsb"

NGGAK BETAH! dua kata yg sudah familiar ditelinga sejak hampir 20th lalu saat saya masih menjadi santriwati
Karena hampir setiap  almarhum Ibu menjenguk ke pondok kata pertama keluar dari mulut saya adalah "Nggak betah dan mau pindah"! 
Hal itu bertahan setiap saya mendapat permasalahan di pondok sampai menjelang kelas akhir 😅 🙈 

*jadi kalau ada walisantri yg bertanya kira² sampai kapan anak akan merasa nggak betah di pondok? Saya akan jawab : sampai lulus 😄

Setelah hampir 10th ikut mendampingi suami mengelola pesantren dan juga menjadi Ibu sekaligus wali santri dari 3 org anak yang saat ini mondok (Syadzwan - Gontor)  
(Helva  & Akhyar - Al-muqoddasah) saya banyak sekali mendapat pelajaran. Baik dari masalah² yg dihadapi anak²  juga para santri.

Disaat kita melepaskan anak masuk dalam sebuah lembaga yang bernama pesantren, maka sepenuhnya pertama kali di tanamkan adalah IKHLAS dan PERCAYA pada pondok. Dalam prosesnya setiap anak akan belajar dan berkembang dengan masalah dan 'gaya' nya.

Terkadang sebagai org tua, kita selalu menginginkan anak² berada di ZONA NYAMAN. Sehingga jika  anak² sedih, menangis, merasa g betah (karena permasalahan dengan teman, kakak kelas, ustadz, merasa kurang nyaman dgn sistem dsb) yang terjadi kebanyakan org tua terutama Ibu juga ikut²an nangis, baper ya kaan? 😃
Dulu saya pernah begitu ibu²😁😅 

Saat Syadzwan baru masuk Gontor mengambil kelas akselerasi, seringkali mengadukan bermacam permasalahan yg dia hadapi. Sebagai Ibu tentu sempat terpancing emosi (lebih tepatnya ga tega) dan sempat memohon kepada suami agar Syadzwan kembali ke Baitul Hidayah saja (pondok yg dikelola suami dan teman²nya) 

Ternyata sikap saya yg demikian  justru membuat anak semakin merasa dibela dan tidak memunculkan sisi kemandiriannya, terutama keberanian sebagai seorang individu yg kelak akan hidup sendiri. 

Mas Ali Rohman_selalu mengingatkan: 

"Ingat Bu.. Pelajaran di kelas itu mudah dipelajari dalam kurun waktu tertentu dgn bimbingan dan arahan yg baik akan mampu memahami pelajaran dgn cepat.  tapi kalau mendidik dan menanamkan karakter itu butuh proses, pembiasaan, dan waktu yg panjang,  karena membentuk karakter dan mental itu tdk semudah membalikkan telapak tangan"

"Untuk bisa matematika itu mudah, tapi bisa mengakui kesalahan dan meminta maaf itu jauh lebih sulit
Untuk menjadi juara itu gampang, tapi utk bisa sabar mangantri dan menghargai antrian org lain itu jauh lbh sulit"

Ayah ndak mau punya anak laki-laki yg pinter tapi penakut,  pinter tapi ndak punya mental juang,  pinter tapi ndak bisa memberi manfaat,  pinter tapi ndak bisa mandiri, selalu bergantung dengan orang tua

"Kita ndak pernah tahu sampai kapan Allah memberi kesempatan bisa mendampingi anak²  atau kelak suatu saat mereka harus berpisah dari kita utk melanjutkan studi di luar negeri, tanpa bekal kemandirian,  keberanian,  kekuatan mental, Syadzwan ndak akan bisa survive dgn kehidupannya sendiri.
Jadi biarkan dia berkembang jadi dirinya sendiri, lepaskan utk berdikari, dia sdh meremaja dan yg paling utama,  dia anak laki²"

Dari kejadian² itu kembali saya belajar,  ternyata gesekan dan permasalahan yg di hadapi anak² di pondok adalah bagian dari pendidikan mental, karena pondok merupakan miniatur kehidupan. 
Kelak mereka dewasa akan berjalan sendiri menghadapi kehidupan yg jauh lebih keras dan penuh tipu daya. 

Lha kalau org tua ingin anaknya tumbuh menjadi anak yg sholeh, kuat, manfaat tapi selalu PROTES atau menelan mentah² pengaduan anaknya karena dihukum mudabbir,  merasa berat saat anaknya cerita dihukum Ustadz,  atau merasa di 'bully' oleh keusilan teman², di anggap A di panggil B dinilai C dsb, maka hemat saya lebih baik dipindahkan saja putra/putri nya ke lembaga pendidikan yang sesuai dengan keinginan org tua. Mudah bukan? 😀

Pondok mengajarkan nilai, mengajarkan hidup, membangun karakter,  membekali santrinya utk siap berjuang di masa yg akan datang dalam kondisi apapun.  
Dengan aktivitas dan kegiatan, tentu anak² akan menemukan benturan, gesekan juga permasalahan. Naah dari sana mereka akan belajar mengelola masalah,  mencari solusi,  belajar mempimpin dan juga dipimpin.

Mengingatkan kembali nasihat KH. Hasan Abdullah Sahal:

"Pondok bukan rumah makan, dimana menu bisa dipesan sesuai keinginan pembeli,  tapi Pondok sudah punya menu sendiri, jika suka LANJUTKAN jika tidak suka TINGGALKAN !  

Biji besi tdk akan pernah kuat sebelum melalui proses panjang menjadi batangan besi. 
Biji Emas menjadi mahal setelah melalui tempaan api dan gesekan sehingga tercipta bentuk yg kuat dan indah

Begitu halnya dengan anak² kita, sebagai ibu tentu akan menyayangi anak²sepenuh hati, namun menyayangi itu tdk selamanya dgn kenyamanan dan keamanan.
Justru di saat kita berlebihan memberikan keduanya maka sesungguhnya kita sdh membekali anak² dengan ketergantungan, kemanjaan, tidak mandiri, tdk berani menghadapi konflik.
Hingga saat  org tua telah tiada, kita meninggalkan keturunan yg lemah, mungkin tidak secara fisik dan materi tapi LEMAH secara mentalnya, Naudzubillah

Saat ini saya pun sedang menikmati warna warni perjuangan menjadi walisantri.
Saling mendoakan ya ibu².. Semoga anak" kita istiqomah dalam menempuh pendidikan di pondok,  kelak bisa lulus dengan husnul khotimah dan bisa menjadi orang yang bermanfaat liddien wal ummah.. Amiiin 

saya menulis status ini sebagai nasihat dan pengingat diri sendiri, utk terus belajar menjadi orang tua sekaligus walisantri yg baik.  
Wallahu'alam bisshowab 

Semoga Bermanfaat

0 comments :

Post a Comment