Tuesday, August 11, 2020

MUDHIF

MUDHIF

Oleh : Kholisuddin

Salah satu hal yang paling menyenangkan saat kita nyantri di pondok adalah menjadi mudhif. Kata ini berasal dari bahasa Arab dan belum terserap dalam kitab suci KBBI. Mudhif artinya kita sedang kedatangan atau dikunjungi tamu. Tamu yang mengunjungi kita  di kala menjadi santri  tentu saja adalah keluarga kita, wa bil khusus orang tua kita.

Sesuai SOP Pondok Modern Gontor, Ponorogo, setiap tamu harus mendaftarkan dulu di BAPENTA (Bagian Penerimaan Tamu) untuk didata. Di sana ada santri-santri pengurus dari BAPENTA yang akan menyambut para tetamu dengan penuh keramahan. 

Lokasi gedung BAPENTA saat itu, tahun 1980-an,  diapit oleh gedung Rayon Indonesia Tiga (RITA) dan gedung Koperasi Pelajar (KOPEL). Ada dua ruang tamu yang disediakan, satu ruang untuk tamu laki-laki dan satunya lagi untuk kaum hawa. Gedung BAPENTA masih harus berbagi dengan ruang BAKES (Bagian Kesehatan).

Tamu tidak diperbolehkan menemui langsung santri yang dikunjungi. Bagian Penerimaan Tamulah yang akan menghubungi santri yang mudhif.  Jika tamu datangnya sore hari, maka daftar santri yang mudhif akan diumumkan oleh Qismul I’lam (Bagian Penerangan) selepas sholat maghrib di masjid.

Ada beberapa daftar panggilan atau risalatud da'wah yang diumumkan oleh Bagian Penerangan. Daftar panggilan dari BAPENTA inilah yang paling menyenangkan dan ditunggu-tunggu santri. Yang dibenci dan ditakuti santri adalah daftar panggilan dari Bagian Penggerak Bahasa dan Bagian Keamanan. Apalagi jika ada panggilan dari Bagian Pengasuhan Santri atau Qismur Ri’ayah. Nada degub jantung santri yang masuk daftar panggilan ini akan menghentak keras tak beraturan dan mengucurkan keringat dingin.

One day, namaku tiba-tiba disebut dalam deretan santri yang mudhif. Rasa senang dan bahagia menjalar di sekujur tubuhku. Aku langsung ngacir menuju gedung BAPENTA begitu pengumuman selesai. Dengan berlari kencang aku membelah kerumunan santri yang turun dari tangga masjid.

Peluk, cium dan tetes mata bahagia mewarnai pertemuanku dengan keluargaku. Mencairlah beku kerinduan yang menggumpal di dalam dada. Mengalirlah tetes kebahagiaan yang tertahan di belakang mata. Semuanya tumpah ruah dalam pertemuan itu. 

Setelah ritual pendahuluan yang mengharukan itu selesai, kami mulai saling bertukar kabar. Pada sesi inilah biasanya aku mencurahkan segala permasalahan yang tengah kuhadapi di pondok. Mulai dari sandal yang sering hilang, makan harian yang membosankan, pelajaran yang keteteran, mudabbir (pengurus) yang kejam, hingga uang jajan yang selalu kurang. Orang tuaku dengan telaten menampung semua keluhan itu.  

Hal yang paling istimewa dari santri mudhif adalah banyak tho’am (makanan) dan fulus. Dan, tentu saja setelah itu banyak teman mendekat dan menyapa. Banyak pula yang tiba-tiba sok akrab.  "Waaaah mudhif nih ye, ehm …….", begitu sapaan setiap teman. Tentu tak sulit menangkap pesan dan sinyal yang menyertai sapaan seperti ini. Siapa tahu dengan menyapa santri yang mudhif mereka kecipratan sedikit berkah, baik secuil makanan atau ditraktir ke kantin. Itu cara-cara _approach (pedekate) santri muthi' atau alim kepada santri yang mudhif.

Lain lagi jalur yang ditempuh santri-santri syirrir atau bandel. Mereka biasa menjalankan aksi bak _kucing garong_, dengan mengendap-ngendap menyatroni kotak lemari santri yang baru mudhif. Mereka beraksi di saat kamar sepi dengan membobol kotak lemari. Disebut kucing garong karena mereka hanya tertarik untuk menggondol makanan dan tidak menyentuh yang lain.

Gaes …… itu adalah kepingan masa lalu. Itu bagian dari album memori saat kita masih menjadi santri. Saat kita mulai belajar hidup mandiri, melepas sedikit demi sedikit ketergantungan dengan orangtua dan keluarga. Saat kita mulai meniti jalan menuju masa depan. Saat kita harus menyimpan rasa ‘ingin bebas’ dan menukarnya dengan keterkungkungan dan kepatuhan. Saat uang saku di kantong kita tak pernah mencukupi.

Sekarang kita telah berganti posisi dan peran. Kita bukan lagi santri. Kita adalah orang tua yang menitipkan anak kita di pesantren. Dulu kita ditengok, sekarang kita menengok. Dulu kita mudhif sekarang kita menjadi _dhoif_(tamu). Dulu kita berharap dikunjungi, sekarang saatnya mengunjungi.

Saat  mengunjungi anak kita di pesantren, lambungkanlah ingatan saat dulu menjadi santri Dengarkanlah semua keluhannya dengan sabar agar tak ada lagi kegundahan yang mengendap di dadanya. Biarkan dia mencurahkan semua kegelisahannya hingga tak bersisa agar hati dan pikirannya lega.

Jangan lupa untuk membawakan makanan yang paling disukainya.  Bawakan pula makanan untuk teman-temannya. Uang jajan saat kunjungan juga harus lebih dari biasanya. Ingat, di belakangnya banyak mata yang sedang mengintipnya. Banyak teman yang menunggu untuk menyapanya, "Waaaah .... mudhif nih ye, ehm ......".

Meskipun menjadi mudhif itu menyenangkan bagi santri, tapi orangtua harus bijak dalam mengatur jadwal dan ritme kunjungan. Terlalu kerap mengunjungi akan membuat anak terganggu dalam belajar. Tepatlah nasehat sebuah ungkapan, "Zur hibban tazdad hubban" , (Berkunjunglah jarang-jarang agar menambah kecintaan).

Jakarta, 12 Agustus 2020


Langkah mudhifa nanti kalo sdh diijinkan :

1. Di gerbang pertama lapor ke ukhti Kelas 5/6 penjaga gerbang. 

2. Lapor di BAPENTA ke ustadzah Bapenta / ukhti penjaga dg menunjukkan KTP serta menyampaikan data putrinya. 

3. Menunggu di ruangan Bapenta yg telah disediakan pondok. 

4. Jam istirahat putrinya akan ke ruangan Bapenta setelah dilakukan pemanggilan. 

5. Putrinya menemui walsan dg membawa kertas panggilan. Jangan sampai HILANG surat panggilan tsb. 

6. Silahkan bertemu dan berpelukan Teletubbies... Boleh kok peluk sambil nangis. Di pondok tdk ada larangan utk menangis menumpahkan rasa kangen.

0 comments :

Post a Comment