Friday, April 8, 2022

MAKMUM BACA AL FATIHAH ATAU TIDAK?

Membaca al Fatihah atau tidak bagi makmum di belakang imam, adalah masalah yang sering membuat senang dan senang, bahkan sampai-sampai sebagian ulama membuat tulisan tersendiri tentang hal ini. Perselisihan ini berasal dari pemahaman dalil. Ada dalil yang menyatakan harus dan ada dalil yang memerintahkan untuk bangkit. Di sisi lain, ada juga ayat atau berbagai hadits yang memerintahkan ketika imam datang. Dari sinilah terjadinya khilaf.

Bahasan ini cukup panjang, ada baiknya dibaca tuntas agar tak salah faham

Dalil: Wajib Baca Al Fatihah di Belakang Imam

Dari 'Ubadah bin Ash Shoomit radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

لاَ لاَةَ لِمَنْ لَمْ اتِحَةِ الْكِتَابِ

“Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Al Fatihah". (HR. Bukhari no.756 dan HR. Muslim no.394)

Dari Abu Hurairah, haditsnya marfu' sampai Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,

لَّى لاَةً لَمْ ا اتِحَةِ الْكِتَابِ اجٌ

“Barangsiapa yang melaksanakan shalat dan tidak membaca Al Fatihah di dalamnya, maka shalatnya itu kurang.” Perkataan ini diulang sampai tiga kali. (HR.Muslim no.395)

Dalil: Wajib Diam Ketika Imam Membaca Al Fatihah

Berkebalikan dengan dalil di atas, ada beberapa dalil yang memerintahkan agar makmum diam ketika imam membaca surat karena bacaan imam dianggap sudah menjadi bacaan makmum.

Di antara dalilnya adalah firman Allah Ta'ala,

ا الْقُرْآَنُ اسْتَمِعُوا لَهُ ا لَعَلَّكُمْ

“Dan bila dibacakan Al Quran, maka doalah yang baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat." (QS. Al A'rof: 204)

Abu Hurairah berkata,

لَّى النَّبِىُّ -صلى الله ليه لم- ابِهِ لاَةً ا الصُّبْحُ الَ « لْ ». الَ لٌ ا. الَ « لُ ا لِى ازَعُ الْقُرْآنَ ».

Aku mendengar Abu Hurairah berkata, "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam shalat bersama para sahabatnya yang kami mengira bahwa itu adalah shalat subuh. Beliau mengatakan: "Apakah salah seorang dari kalian ada yang membaca surat (di belakangku)?" Seorang laki-laki menjawab , "Saya." Beliau lalu mengatakan: "Kenapa aku ditandingi dalam membaca Al Qur`an?" (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, An Nasa'i dan Ibnu Majah)

Dalil lainnya adalah sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,

ان له ام اءة الإمام له اءة

“Barangsiapa yang shalat di belakang imam, bacaan imam menjadi bacaan untuknya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah no.850)

Hadits ini dikritisi oleh para ulama.

Hadits lainnya lagi adalah sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,

ا الإِمَامُ – ا لَ الإِمَامُ – لِيُؤْتَمَّ ا ا ا ارْكَعُوا ا ارْفَعُوا ا الَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ . لُوا ا لَكَ الْحَمْدُ . ا اسْجُدُوا

“Sesungguhnya imam itu diangkat untuk diikuti. Jika imam bertakbir, maka bertakbirlah. Jika imam ruku', maka ruku'lah. Jika bangkit imam dari ruku', maka bangkitlah. Jika imam mengucapkan 'sami'allahu liman hamidah', terimalah 'robbana wa lakal hamd'. Jika imam sujud, sujudlah." (HR. Bukhari no 733 dan Muslim no.411) 

Dalam riwayat Muslim pada hadits Abu Musa terdapat tambahan,

“Jika imam membaca (Al Fatihah), maka diamlah.”

Menempuh Jalan Kompromi (Menjama')

Metode para ulama dalam menyikapi dua macam hadits yang seolah-olah bertentangan adalah menjama' di antara dalil-dalil yang ada selama itu memungkinkan.

Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah berkata, "Jika dua memiliki bertentangan secara zhohir, jika memungkinkan untuk dijama' antara keduanya, maka jangan beralih pada metode lainnya. Wajib ketika itu beramal dengan mengkompromikan keduanya.”

Syaikh Asy Syinqithi rahimahullah, ketika menjelaskan metode menggabungkan dalil-dalil, berkata, “Kami katakan, pendapat yang kuat menurut kami adalah melakukan jama' (kompromi) terhadap dalil-dalil yang ada karena menjama' dalil itu wajib jika memungkinkan untuk dilakukan.”

Menggabungkan atau mengkompromikan atau menjama' dalil lebih didahulukan daripada melakukan tarjih (memilih dalil yang lebih kuat) karena menjama' berarti menggunakan semua dalil yang ada (di saat itu mungkin) sedangkan tarjih mesti menghilangkan salah satu dalil yang dianggap lemah. Demikian pelajaran yang sudah dikenal dalam ilmu uhsul. Sehingga lebih tepat melakukan jama' (kompromi) dalil selama itu masih memungkinkan.

Penjelasan Abul 'Abbas Ibnu Taimiyah

Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah ditanya hukum membaca Al Fatihah di belakang imam. Beliau mengatakan bahwa para ulama telah berselisih pendapat karena umumnya dalil dalam masalah ini, yaitu tiga pendapat.

Dua pendapat pertama adalah yang menyatakan tidak membaca surat sama sekali di belakang imam dan yang lainnya menyatakan membaca surat dalam segala keadaan. Pendapat ketiga yang dianut oleh kebanyakan salaf yang menyatakan bahwa jika makmum mendengar bacaan imam, maka hendaklah ia diam dan tidak membaca surat. karena mendengar bacaan imam itu lebih baik dari kami. Jika makmum tidak mendengar bacaan imam, barulah ia membaca surat tersebut. Karena dalam kondisi kedua ini, ia membaca lebih baik daripada diam. Satu kondisi, membaca bacaan imam itu lebih afdhol dari membaca surat. Kondisi lain, membaca surat lebih dari sekedar diam. Demikian pendapat mayoritas ulama seperti Malik, Ahmad bin Hambal, para ulama Malikiyah dan Hambali, juga sekelompok ulama Syafi'iyah dan ulama Hanafiyah berpendapat demikian.

Jika kita memilih ketiga, lalu bagaimana hukum makmum membaca Al Fatihah di saat imam samar-samar, apakah wajib atau sunnah bagi makmum?

Ada dua pendapat dalam madzhab Hambali. Yang lebih masyhur adalah yang menyatakan sunnah. Inilah yang jadi pendapat Imam Asy Syafi'i dalam pendapatnya terdahulu.

Pertanyaan lainnya, apakah sekedar mendengar bacaan Al Fatihah imam ketika imam menjahrkan bacaannya wajib, ataukah sunnah? Lalu bagaimana jika tetap membaca surat di belakang imam ketika kondisi itu, apakah itu haram, atau hanya sekedar makruh?

Dalam masalah ini ada dua pendapat di madzhab Hambali dan lainnya. Pertama, membaca surat ketika itu diharamkan. Jika tetap, shalatnya batal. Inilah salah satu dari dua pendapat yang dikatakan oleh Abu 'Abdillah bin Hamid dalam madzhab Imam Ahmad. Kedua, shalat tidak batal dalam kondisi itu. inilah pendapat mayoritas. Pendapat ini masyhur di kalangan madzhab Imam Ahmad.

Ibnu Taimiyah rahimahullah selanjutnya mengatakan,

Yang dimaksud di sini adalah tidak mungkin kita beramal dengan mengumpulkan seluruh pendapat. Akan tetapi, puji syukur pada Allah, pendapat yang shahih adalah pendapat yang berpegang pada dalil syar'i sehingga muncullah kebenaran.

Intinya membaca Al Fatihah di belakang imam, kami katakan bahwa jika imam menjahrkan bacaannya, maka cukup kita mendengar bacaan tersebut. Jika tidak karena jauh dari imam, maka hendaklah membaca surat tersebut menurut pendapat yang lebih kuat dari pendapat yang ada. Inilah pendapat Imam Ahmad dan selainnya. Namun jika tidak mendengar karena ia tuli, atau ia sudah berusaha mendengarnya namun tidak mengerti apa yang diucapkan, maka ada dua pendapat di madzhab Imam Ahmad. Pendapat yang terkuat, tetap membaca Al Fatihah karena yang afdhol adalah mendengar bacaan atau bacaan. Dan saat itu kondisinya adalah tidak mendengar. Ketika itu tidak tercapai yang diinginkan, maka tentu membaca Al Fatihah saat itu lebih afdhol daripada diam.

Pembelaan

Dalil yang menunjukkan bahwa bacaan imam juga menjadi bacaan bagi makmum dapat dilihat pada hadits Abu Bakroh di mana dia tidak berulang kali shalatnya.

Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari jalan Al Hasan, dari Abu Bakroh bahwasanya ia mendapati Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sedang ruku'. Lalu Abu Bakroh ruku' sebelum sampai ke shof. Lalu ia menceritakan kejadian yang ia lakukan tadi kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,

ادَكَ اللَّهُ ا لاَ

“Semoga Allah menambah semangat untukmu, namun jangan diulangi.” (HR. Bukhari no.783)

Lalu bagaimana dengan hadits,

لاَ لاَةَ لِمَنْ لَمْ اتِحَةِ الْكِتَابِ

“Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Al Fatihah". (HR. Bukhari no. 756 dan Muslim no. 394)

Ada dua jawaban yang bisa diberikan:

Yang dimaksud dengan hadits-hadits tersebut adalah shalatnya tidak sempurna. Yang menunjukkan maksud seperti ini adalah dalam hadits Abu Hurairah disebutkan “غير ام”, tidak sempurna.

Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Al Fatihah dalam shalatnya, namun ini berlaku bagi imam, orang yang shalat sendiri dan makmum ketika shalat siriyah (yang tidak dikeraskan bacaannya). Adapun makmum dalam shalat jahriyah (yang dikeraskan bacaannya), maka bacaan imam adalah bacaan bagi makmum. Jika ia mengaminkan bacaan Al Fatihah yang dibacakan oleh imam, maka ia seperti membaca surat tersebut. Maka tidak benar jika dikatakan bahwa orang yang hanya membaca bacaan imam tidak membaca surat Al Fatihah, bahkan itu dianggap membaca meskipun ia sudah ruku', lalu ia ruku' bersama imam.

Catatan: Penjelasan Syaikh Sholeh Al Munajjid dalam Fatawa Islam sempat As Sual wa Jawab: Seseorang dianggap mendapatkan satu raka'at ketika ia mendapati ruku', meskipun ketika itu belum membaca Al Fatihah secara sempurna ia langsung ruku' bersama imam.

Pendapat Hati-Hati

Syaikh Sholeh Al Fauzan hafizhohullah memilih pendapat yang hati-hati dalam masalah ini. Dalam Al Mulakhosh Al Fiqhi, beliau mengatakan, "Apakah membaca Al Fatihah itu wajib bagi setiap yang shalat (termasuk makmum ketika imam membaca Al Fatihah secara jahr, pen), ataukah hanya bagi imam dan orang yang shalat itu sendiri?" Kemudian jawab beliau hafizhohullah, "Masalah ini dapat dilihat di antara para ulama. Pendapat yang hati-hati, makmum tetap membaca Al Fatihah pada shalat yang imam tidak menjahrkan bacaannya, begitu pula pada shalat jahriyah ketika imam diam setelah membaca Al Fatihah."

Pendapat yang menempuh jalan kompromi seperti yang ditempuh oleh Ibnu Taimiyah itu pun sudah cukup ahsan (baik). Namun penjelasan Syaikh Sholeh Al Fauzan di atas sengaja ditambahkan supaya kita bisa memilih pendapat yang lebih hati-hati agar tidak terjatuh dalam perselisihan ulama yang ada.


WaLLAAHUa'lam

0 comments :

Post a Comment