Thursday, January 6, 2022

ADAB PADA GURU

PERTAMA: Menghormatinya

Di antara adab pada guru adalah menghormatinya. Di antara bentuk hormatnya adalah memanggilnya dengan panggilan yang santun. Misal yang jadi adat atau kebiasaan di negeri kita, memanggil guru tersebut dengan sebutan Pak Guru atau Ustadz. Panggilan ini adalah bentuk panggilan santunan pada guru kita.

Hal di atas adalah pengamalan dari hadits dari 'Abdullah bin 'Amr bin Al-'Ash radhiyallahu 'anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


لَيْسَ ا لَمْ ا ا


“Tidak termasuk golongan kami siapa yang tidak mencintai yang kecil di antara kita dan tidak menghormati yang lebih tua di antara kita.” (HR. Tirmidzi no. 1919)


Juga sebagai Penerapan dari ayat Al-Qur'an,


لَا لُوا اءَ الرَّسُولِ اءِ ا


“Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain).” (QS. An-Nur: 63). Syaikh Bakr Abu Zaid dalam Hilyah Thalib Al-‘Ilmi berkata, “Inilah yang ditunjukkan oleh Allah kepada yang mengajarkan kebaikan pada manusia yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Imam Nawawi rahimahullah menerangkan:

Disunnahkan bagi anak, murid, atau seorang pemuda ketika menyebut ayahnya, guru dan tuannya agar tidak dengan menyebut nama saja.

Diriwayatkan dalam Kitab Ibnu As-Sunni, dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan jalan di depannya, jangan membantahnya, jangan duduk sebelum ia duduk, jangan memanggilnya cuma dengan namanya saja.” Yang dimaksud jangan membantah adalah membantah orang tua ketika orang tua mengingatkan keras atau mengajari adab pada kita.

Dari ‘Abdullah bin Zahr, ia berkata, “Termasuk durhaka pada orang tua adalah engkau memanggil orang tua dengan namanya saja dan engkau berjalan di depannya.” 

Syaikh Bakr Abu Zaid dalam kitab Hilyah Thalib Al-‘Ilmi, “Jangan memanggil guru dengan nama atau laqabnya saja. Seperti jika engkau berkata, “Wahai Syaikh Fulan.” Baiknya panggillah dengan “Wahai Syaikhku atau Syaikhuna (Syaikh kami).” Baiknya tidak sebut namanya. Ini lebih beradab. Jangan pula memanggilnya dengan ‘kamu’ atau ‘anta’. Jangan pula memanggil guru tersebut dari jejauhan kecuali kalau darurat.”

Namun kalau mengabarkan kalau gurunya berkata seperti ini dan seperti itu, maka boleh menyebut namanya. Misal, guruku, Syaikh Shalih berkata demikian. Ketika itu menyebut namanya karena bukan dalam keadaan memanggilnya namun cuma pengabaran suatu berita saja.

KEDUA: Menasihati Guru

Yang jelas, kesalahan guru jika tahu, mesti diluruskan dan itu bagian dari nasihat. Karena tidak ada manusia yang terlepas dari kesalahan. Bisa jadi guru kita juga salah berucap. Intinya mesti ada nasihat dan pelurusan.

Dari Abu Ruqayyah Tamim bin Aus Ad Daari radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


(( الدِّينُ النَّصِيحةُ )) قلنا : لِمَنْ ؟ قَالَ : (( لِلهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلأئِمَّةِ المُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ


“Agama adalah nasihat.” Kami bertanya, “Untuk siapa?” Beliau menjawab, “Bagi Allah, bagi kitab-Nya, bagi rasul-Nya, bagi pemimpin-pemimpin kaum muslimin serta bagi umat Islam umumnya.” (HR. Muslim no. 55).

Al-Hasan Al-Bashri berkata,


إنَّ أحبَّ عبادِ الله إلى الله الذين يُحببون الله إلى عباده ويُحببون عباد الله إلى الله ، ويسعون في الأرض بالنصيحة


“Sesungguhnya hamba yang dicintai di sisi Allah adalah yang mencintai Allah lewat hamba-Nya dan mencintai hamba Allah karena Allah. Di muka bumi, ia pun memberi nasehat pada orang lain.” 

Nasihat ini adalah tanda cinta pada saudara kita. Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,


لا يُؤمِنُ أحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحبُّ لِنَفْسِهِ


“Tidaklah sempurna iman seseorang di antara kalian sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 13 dan Muslim no. 45).

Dalam menasihati itu baiknya dilakukan secara diam-diam kecuali ada maslahat dengan terang-terangan. Karena asal nasihat adalah ingin yang lain menjadi baik, bukan ingin menjelek-jelekkan. Al-Khattabi berkata,


النصيحةُ كلمةٌ يُعبر بها عن جملة هي إرادةُ الخيرِ للمنصوح له


“Nasihat adalah kalimat ungkapan yang bermakna memberikan kebaikan kepada yang dinasihati” 

Al Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan,


المؤمن يَسْتُرُ ويَنْصَحُ ، والفاجرُ يهتك ويُعيِّرُ


“Seorang mukmin itu biasa menutupi aib saudaranya dan menasehatinya. Sedangkan orang fajir (pelaku dosa) biasa membuka aib dan menjelek-jelekkan saudaranya.” 

Nasihat pada guru ini tetap ada karena tidak ada manusia yang sempurna dan tidak disyaratkan yang menasihati pula harus bersih dari dosa. Ibnu Rajab Al-Hambali pernah menyampaikan,


فلا بد للإنسان من الأمر بالمعروف و النهي عن المنكر و الوعظ و التذكير و لو لم يعظ إلا معصوم من الزلل لم يعظ الناس بعد رسول الله صلى الله عليه و سلم أحد لأنه لا عصمة لأحد بعده


“Tetap bagi setiap orang untuk mengajak yang lain pada kebaikan dan melarang dari kemungkaran. Tetap ada saling menasihati dan saling mengingatkan. Seandainya yang mengingatkan hanyalah orang yang maksum (yang bersih dari dosa, pen.), tentu tidak ada lagi yang bisa memberi nasihat sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ada lagi yang maksum.” 

Syaikh Bakr Abu Zaid berkata, “JIka guru berbuat salah atau ada suatu kerancuan pada dirinya, janganlah martabatnya jadi jatuh di pandanganmu. Karena engkau bisa meraih kemuliaan karena ilmu darinya. Karena siapa yang berani mengaku bahwa ia bisa selamat dari kesalahan?”

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menerangkan perkataan Syaikh Bakr Abu Zaid di atas, “Akan tetapi jika guru kita berbuat salah, apakah kita mesti diam atau tetap mengingatkannya? Kalau ingin mengingatkan apakah mengingatkan di majelis ilmu atau di tempat lain?

Tentu saja, ada adab yang mesti diperhatikan dalam hal ini.

Kami katakan, jangan sampai kesalahan tersebut didiamkan. Karena kesalahan tersebut menjadi masalah untuk dirimu sendiri, juga untuk gurumu. Jika kesalahan tersebut diingatkan, tentu akan jadi lurus. Begitu pula jika ada kerancuan, karena bisa jadi ada salah kata-kata ketika berucap sehingga perlu sekali dibetulkan. Akan tetapi, apakah kesalahan tersebut diingatkan di dalam majelis ataukah di luar majelis?

Bisa jadi diingatkan saat itu juga di dalam majelis. Karena kalau tidak diingatkan, ilmu tersebut barangkali direkam, akhirnya nantinya tersebar padahal ada kekeliruan di dalamnya. Tentu saja kesalahan tersebut perlu diingatkan di dalam majelis.

Bisa juga kesalahan tersebut diingatkan di luar. Engkau jalan bersamanya (empat mata), lalu bisa berkata, “Wahai Syaikh, kami tadi mendengar engkau berkata seperti ini dan seperti itu, kami tidak mengerti atau kami sedikit rancu. Mungkin kami yang salah dengar atau barangkali ada yang keliru.”

Kita dapat simpulkan bagaimanakah cara menasihati guru yang keliru:

1. Nasihat didasari karena menginginkan kebaikan pada guru.

2. Nasihat adalah tanda cinta pada guru agar tidak terjatuh pada kesalahan.

3. Nasihat pada guru baiknya dilakukan sembunyi-sembunyi.

4. Nasihat bisa dilakukan di dalam majelis jika memang ada maslahat.

5. Tetap santun dalam menasihati.

Semoga Allah menganugerahi kita sekalian ilmu yang bermanfaat. Moga Allah senantiasa menjaga guru kita, memberkahi ilmu dan waktu mereka.

KETIGA: Rajin Hadir Dalam Majelis Ilmunya

Kita lihat sebagian halaqah ilmu yang khusus membahas materi rutin, bukan tematik, misal membahas salah satu kitab ulama, akan nampak beda antara awal dan akhir. Keadaan awal pasti akan lebih banyak dibandingkan dengan pertemuan akhir. Keadaan awal lebih banyak, keadaan akhir akan semakin berkurang bahkan bisa jadi tersisa satu atau dua orang. Jarang sekali majelis yang kita lihat terus istiqamah kecuali yang Allah beri taufik padanya.

Lihat contoh dari para salaf di masa silam bagaimanakah semangatnya mereka dalam merutinkan menghadiri majelis ilmu pada guru-guru mereka.

Abul Hasan Al-Karkhi berkata, “Aku punya kebiasaan menghadiri majelis Abu Khazim setiap Jumat. Keesokan harinya di hari Jumat ternyata kosong, namun aku tetap menghadirinya agar tidak mengurangi kebiasaanku untuk menghadiri majelis tersebut.” 

Wahb bin Jarir dari bapaknya, ia berkata, “Aku sudah pernah duduk di majelis Al-Hasan Al-Bashri selama tujuh tahun. Aku tidak pernah absen walau satu hari pun. Aku punya kebiasaan puasa, lalu aku mendatangi majelis beliau.” 

Qatadah bin Da’amah As-Sadusi, ulama di kalangan tabi’in yang lahir dalam keadaan buta. Ia adalah di antara murid Anas bin Malik. Para ulama yang ada ketika itu biasa mengambil ilmu dari Anas pada pagi dan petang hari. Ada yang menghadiri majelis di pagi hari lantas pergi. Yang datang di pagi hari memberitahukan ilmu pada orang-orang yang hanya bisa hadir di petang hari. Suatu saat Anas telat hadir pada majelis sore. Lantas Qatadah membawakan pelajaran pada orang-orang yang hadir di sore hari mengenai hadits yang ia peroleh di pagi hari. Ketika Anas menyimak apa yang disampaikan oleh Qatadah, ia melihat bagaimana bagusnya hafalan Qatadah dan ia pun begitu takjub dengan kecerdasannya. Lantas ia pun menepuk tangan Qatadah lantas berkata, “Berdiri, wahai Qatadah (dipanggil dengan panggilan ‘Ya Akmah’, artinya ‘wahai si buta’, pen.), aku baru saja mengambil ilmuku sendiri darimu.” 

Ini tanda orang yang semangat hadiri majelis ilmu, maka kelak ia akan menuai hasil kerja kerasnya.

Dari Abu Ad-Darda’, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


إِنَّمَا الْعِلْمُ بِالتَّعَلُّمِ، وَإِنَّمَا الْحِلْمُ بِالتَّحَلُّمِ، مَنْ يَتَحَرَّى الْخَيْرَ يُعْطَهُ، وَمَنْ يَتَّقِ الشَّرَّ يُوقَهُ


“Sesungguhnya ilmu didapatkan dengan belajar dan sesungguhnya hilm (kesabaran dan ketenangan) didapat dengan terus melatih diri. Barangsiapa berusaha untuk mendapat kebaikan, maka Allah akan memberikannya. Barangsiapa yang berusaha untuk menghindari keburukan, niscaya akan terhindar darinya.” (HR. Ad-Daruquthni dalam Al-Afrad).

Hanya Allah yang memberi taufik. Moga Allah beri keistiqamahan meraih ilmu dari guru-guru kita.

KEEMPAT: Bertanya Secara Ahsan

1- Maksud bertanya bukan untuk mendebat guru

Dari Ka’ab bin Malik, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُجَارِىَ بِهِ الْعُلَمَاءَ أَوْ لِيُمَارِىَ بِهِ السُّفَهَاءَ أَوْ يَصْرِفَ بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ أَدْخَلَهُ اللَّهُ النَّارَ


“Barangsiapa yang menuntut ilmu dengan maksud untuk bisa mendebat ulama (untuk menampakkan keilmuannya di hadapan lainnya, pen.) atau untuk mendebat orang-orang bodoh (menanamkan keraguan pada orang bodoh, pen.) atau agar menarik perhatian yang lainnya (supaya orang banyak menerimanya, pen.), maka Allah akan memasukkannya dalam neraka.” (HR. Tirmidzi no. 2654)

Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


لاَ تَعَلَّمُوا الْعِلْمَ لِتُبَاهُوا بِهِ الْعُلَمَاءَ وَلاَ لِتُمَارُوا بِهِ السُّفَهَاءَ وَلاَ تَخَيَّرُوا بِهِ الْمَجَالِسَ فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَالنَّارُ النَّارُ


“Janganlah belajar ilmu agama untuk berbangga diri di hadapan para ulama, untuk menanamkan keraguan pada orang yang bodoh, dan jangan mengelilingi majelis untuk maksud seperti itu. Karena barangsiapa yang melakukan demikian, maka neraka lebih pantas baginya, neraka lebih pantas baginya.” (HR. Ibnu Majah no. 254)

2- Bertanya pertanyaan yang nyata terjadi, bukan yang terjadi di dunia khayalan atau belum terjadi

Ada yang menanyakan pertanyaan yang sia-sia, belum nyata terjadi. Misal, bagaimana cara shalat di bulan.

Ada cerita dari Syabatun, nama aslinya Ziyad bin ‘Abdurrahman, seorang fakih dan menjadi mufti Andalus. ‘Abdul Malik bin Habib berkata, “Kami berada di sisi Ziyad (Syabatun). Kala itu ada surat dari sebagian raja. Surat tersebut berisi tulisan dan memiliki cap. Syabatun berkata pada kami bahwa isi surat bertanya tentang dua piringan neraca timbangan (pada hari kiamat), apakah terbuat dari emas ataukah perak. Syabatun lantas menulis hadits,


مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ


“Di antara kebaikan islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat.” (HR. Tirmidzi no. 2317, Ibnu Majah no. 3976). 

Sebagian salaf berkata,


دَعْنَا عَنْ هَذَا حَتَّى يَقَعَ وَسَلْ عَمَّا وَقَعَ


“Tak usah bertanya pada kami sampai hal itu terjadi. Bertanya lagi nantinya kalau sudah terjadi.”

Kalau ada yang bertanya, “Bagaimana arah kiblat kalau shalat di bulan?” Jawabnya, suruh di bulan dulu. Kalau sudah di sana, nanti baru di-SMS ke kami, kami akan beri jawabannya.

3- Bertanya dengan memperhatikan waktu dan keadaan guru

Ada pelajaran yang bisa kita ambil dari hadits berikut.


عَنْ أَبِى مَسْعُودٍ الأَنْصَارِىِّ قَالَ كَانَ مِنَ الأَنْصَارِ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ أَبُو شُعَيْبٍ ، وَكَانَ لَهُ غُلاَمٌ لَحَّامٌ فَقَالَ اصْنَعْ لِى طَعَامًا أَدْعُو رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – خَامِسَ خَمْسَةٍ ، فَدَعَا رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – خَامِسَ خَمْسَةٍ ، فَتَبِعَهُمْ رَجُلٌ فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « إِنَّكَ دَعَوْتَنَا خَامِسَ خَمْسَةٍ وَهَذَا رَجُلٌ قَدْ تَبِعَنَا ، فَإِنْ شِئْتَ أَذِنْتَ لَهُ ، وَإِنْ شِئْتَ تَرَكْتَهُ »


“Dari Abu Mas'ud Al-Anshari, ia berkata bahwa ada seseorang dari kalangan Anshar yang bernama Abu Syu’aib. Ia memiliki anak yang menjadi seorang penjual daging. Ia katakan padanya, “Buatkanlah untukku makanan dan aku ingin mengundang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk jatah lima orang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas diundang dengan jatah untuk lima orang, namun ketika itu ada seseorang yang ikut bersama beliau. Kala itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Engkau telah mengundang kami untuk jatah lima orang, sedangkan orang ini mengikuti kami. Jika engkau mau, izinkan dia untuk ikut. Jika tidak, ia bisa pulang.” (HR. Bukhari no. 5434 dan Muslim no. 2036).

Dari hadits di atas, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin berkata, “Harusnya seseorang tidak berat hati ketika ada tuan rumah mengatakan saat ditemui, “Maaf, aku sekarang sedang sibuk.” Karena sebagian yang lain malah kesal ketika dikatakan seperti itu. Kekesalan atau kekecewaan seperti itu justru keliru. Karena setiap orang punya hajat penting ketika berada di rumahnya. Atau ada yang punya urusan dengan orang lain yang lebih penting. Karenanya, kalau ada yang bertamu, kemudian tuan rumah katakan bahwa ia sedang ada aktivitas penting, maka janganlah merasa kecewa ketika dikatakan seperti itu. Karena dalam Islam ada diajarkan seperti itu.” 

Dari sini kita bisa ambil pelajaran, setiap penuntut ilmu hendaklah memperhatikan waktu sibuk gurunya. Setiap pertanyaan di luar majelis terutama belum tentu bisa dijawab. Setiap SMS atau telepon atau pesan WA, belum tentu bisa dijawab dan dibalas setiap waktu karena barangkali sedang ada kesibukan dengan keluarga atau kesibukan belajar.

4- Jangan sampai bertanya hanya untuk wawasan, tanpa mau diamalkan

Para ulama salaf berkata,


مَنْ عَمِلَ بِمَا عَلِمَ ، أَوْرَثَهُ اللهُ عِلْمَ مَا لَمْ يَعْلَمْ


“Barangsiapa yang mengamalkan ilmu yang telah ia ketahui maka Allah akan mewariskan (mengajarkan) kepadanya ilmu yang belum ia ketahui”

Ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala,


وَالَّذِينَ اهْتَدَوْا زَادَهُمْ هُدىً وَآتَاهُمْ تَقْوَاهُمْ


“Dan orang-orang yang mau menerima petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan balasan ketaqwaannya.” (QS. Muhammad: 17)


وَيَزِيدُ اللهُ الَّذِينَ اهْتَدَوْا هُدىً


“Dan Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk.” (QS. Maryam: 76)

Lihatlah pula kata Ibnu Mas'ud radhiyallahu ‘anhu,


مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا لَمْ يَعْمَلْ بِهِ لَمْ يَزِدْهُ إِلاَّ كِبْرًا


“Siapa yang belajar ilmu (agama) lantas ia tidak mengamalkannya, maka hanya kesombongan pada dirinya yang terus bertambah.” 

Wahb bin Munabbih berkata,


مَثَلُ مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا لاَ يَعْمَلْ بِهِ كَمَثَلِ طَبِيْبٍ مَعَهُ دَوَاءٌ لاَ يَتَدَاوَى بِهِ


“Permisalan orang yang memiliki ilmu lantas tidak diamalkan adalah seperti seorang dokter yang memiliki obat namun ia tidak berobat dengannya.” 


Sufyan bin ‘Uyainah berkata,


مَا شَيْءٌ أَضَرُّ عَلَيْكُمْ مِنْ مُلُوْكِ السُّوْءِ وَعِلْمٍ لاَ يَعْمَلُ بِهِ


“Tidak ada sesuatu yang lebih memudhorotkan kalian selain dari raja yang jelek dan ilmu yang tidak diamalkan.” 

‘Abdul Wahid bin Zaid berkata,


مَنْ عَمِلَ بِمَا عَلِمَ فَتَحَ اللهُ لَهُ مَا لاَ يَعْلَمُ


“Barangsiapa mengamalkan ilmu yang telah ia pelajari, maka Allah akan membuka untuknya hal yang sebelumnya ia tidak tahu.” 

Ma’ruf Al Karkhi berkata, “Jika Allah menginginkan kebaikan pada seorang hamba, Dia akan membuka baginya pintu amal dan akan menutup darinya pintu jidal (suka berdebat atau bantah-bantahan). Jika Allah menginginkan kejelekan pada seorang hamba, Dia akan menutup baginya pintu amal dan akan membuka baginya pintu jidal (suka berdebat)” 

5- Jangan sampai bertanya hanya ingin cari simpati dan pujian

Perhatikanlah niat dalam menuntut ilmu, jangan sampai yang diharap adalah dunia dan pujian manusia. Bertanya hanya ingin dipandang bahwa ilmunya itu banyak.

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا لِغَيْرِ اللَّهِ أَوْ أَرَادَ بِهِ غَيْرَ اللَّهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ


“Siapa yang belajar agama karena selain Allah -atau ia menginginkan dengan ilmu tersebut selain Allah-, maka hendaklah ia menempati tempatnya di neraka.” (HR. Tirmidzi no. 2655. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,


مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لاَ يَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ


“Barangsiapa menuntut ilmu yang seharusnya diharapkan dengannya wajah Allah ‘azza wa jalla, tetapi ia tidak menuntutnya kecuali untuk mendapatkan sedikit dari kenikmatan dunia maka ia tidak akan mencium bau surga pada hari kiamat.” (HR. Abu Daud no. 3664 dan Ibnu Majah no. 252)


KELIMA: Selalu Mendo'akan Guru

Di antara adab pada guru adalah terus mendo’akan guru atas ilmu yang diberikan.

Contohilah para ulama yang selalu mendoakan orang yang telah berjasa baik padanya dalam hal ilmu.

Al-Harits bin Suraij berkata, aku mendengar Al-Qatthan berkata,


أَنَا أَدْعُو اللهَ لِلشَّافِعِي، أَخُصُّهُ بِهِ


“Aku senatiasa berdo’a pada Allah untuk Imam Syafi'i, aku khususkan do'a untuknya.”

Abu Bakar bin Khalad berkata,


أَنَا أَدْعُو اللهَ فِي دُبُرِ صَلاَتِي لِلشَّافِعِي


“Aku selalu berdo’a pada Allah di akhir shalatku untuk Syafi'i.”

Setiap kebaikan hendaklah dibalas. Apalagi kebaikan ilmu yang diberikan. Sulit memang membalasnya karena ilmu adalah jasa yang tiada tara. Kalaulah itu sulit, maka balaslah kebaikan tersebut dengan terus mendo'akan orang yang memberikan ilmu. Do’a itu tak henti dipanjatkan sampai kita merasa telah membalasnya. Termasuk pula kita hendaknya selalu mendo’akan para ulama yang punya jasa besar pada Islam.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


لاَ يَشْكُرُ اللَّهَ مَنْ لاَ يَشْكُرُ النَّاسَ


“Seorang belum merealisasikan rasa syukur kepada Allah jika ia tidak mampu bersyukur (berterimakasih) atas kebaikan orang lain terhadap dirinya.” (HR. Abu Daud no. 4811 dan Tirmidzi no. 1954).

Dari Jabir bin ‘Abdillah Al Anshari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


مَنْ صُنِعَ إِلَيْهِ مَعْرْوُفٌ فَلْيُجْزِئْهُ، فَإِنْ لَمْ يُجْزِئْهُ فَلْيُثْنِ عَلَيْهِ؛ فَإِنَّهُ إِذَا أَثْنَى عَلَيْهِ فَقَدْ شَكَرَهُ، وَإِنْ كَتَمَهُ فَقَدْ كَفَرَهُ، وَمَنْ تَحَلَّى بَمَا لَمْ يُعْطَ، فَكَأَنَّمَا لَبِسَ ثَوْبَيْ زُوْرٍ


“Siapa yang memperoleh kebaikan dari orang lain, hendaknya dia membalasnya. Jika tidak menemukan sesuatu untuk membalasnya, hendaklah dia memuji orang tersebut, karena jika dia memujinya maka dia telah mensyukurinya. Jika dia menyembunyikannya, berarti dia telah mengingkari kebaikannya. Seorang yang berhias terhadap suatu (kebaikan) yang tidak dia kerjakan atau miliki, seakan-akan ia memakai dua helai pakaian kepalsuan.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad no. 215).

Bentuknya bisa dengan mendoakan rahmat dan kebaikan ketika nama guru kita disebut.

Ibnu Jama'ah Al-Kanani rahimahullah menyebutkan, “Sebagian ulama terkadang membacakan hadits dengan sanadnya. Mereka lalu mendoakan setiap perawi dalam sanad tersebut. Itulah bentuk kekhususan karena telah diberikan anugerah ilmu yang luar biasa.” 










0 comments :

Post a Comment