Friday, September 11, 2020

JILBAB DAN HIJAB DAN KESALEHAN

Jilbab dan Hijab, adalah dua kosakata klasik yang terus diperbincangkan dan diperdebatkan secara timbul tenggelam. Isu ini telah ditulis dalam beribu buku, kitab kuning dan berbagai jurnal ilmiyah, selama berabad-abad. Hari-hari ini ia dibincangkan kembali di antara kaum muslimin di negeri ini dalam suasana yang sengit dan menegangkan. Situasi caci maki dan sikap tanpa etika berhamburan. Ini memperlihatkan bahwa kita, bangsa muslim terbesar ini semakin mundur ke belakang dan memprihatinkan.

Secara singkat, Jilbab pada mulanya dipahami sebagai kain yang digunakan untuk menutupi kepala dan tubuh perempuan dan Hijab bermakna sekat/pemisah antara dua ruang.  Dalam perjalanan sejarahnya terminology tersebut mengalami proses perubahan pemaknaan dan  persepsi. Dewasa ini keduanya dipersepsi sebagai sebuah pakaian seorang perempuan muslimah, bahkan lebih khas lagi ia adalah busana muslimah yang memberi kesan kesalehan dan ketaatan dalam beragama. Persepsi ini secara sosial akan membawa dampak kebalikannya. Yakni bahwa perempuan yang tidak mengenakan Jilbab/Hijab cenderung dipandang bukan perempuan muslimah dan bukan perempuan yang baik dan taat beragama. Dalam bahasa yang lain dan mungkin emosional, ia adalah perempuan yang kurang/tidak berakhlak baik.

Lihatlah, bagaimana bisa tingkat kesalehan, kebaikan budi dan ketaatan beragama seseorang seakan-akan hanya dilihat dan diukur dari aspek busana yang dipakainya. Pandangan ini telah menyederhanakan persoalan dan betapa amat dangkalnya.

Saya sudah pernah menulis tema ini bbrp tahun lalu. Disebutkan di dalamnya bahwa dua kata ini : Jilbab dan Hijab sesungguhnya memiliki pengertian asli yg berbeda. Keduanya disebutkan dlm ayat suci al-Qur’an pd surah yg sama, Al-Ahzab. Keduanya tidak menyebut kata Aurat. Pertama Hijab. Ia disebut dlm ayat 53 : “Jika kamu meminta sesuatu kpd mereka (isteri2 Nabi), maka mintalah dari balik “hijab”. Cara ini lebih mensucikan hatimu dan hati mereka”.(Q.S. al-Ahzab, [33]:53). Hijab pd ayat 53 ini mnunjukan arti penutup/tirai/sekat/pemisah/pembatas yang ada di dlm rumah Nabi saw sbg sarana utk memisahkan ruang kaum laki2 dari kaum perempuan agar mereka tidak saling memandang. Pengertian ini merujuk pd asbab nuzul, latarbelakang turunnya ayat ini. Al-Thabari, mufassir besar menyebut sejumlah latarbelakang turunnya ayat ini. A.l : Sbgian menyebut ia turun berkaitan dg peristiwa di rumah Nabi. Para sahabat berkumpul di rumah Nabi dlm rangka menghadiri walimah Zainab bint Jahsy. Mrk bercakap2 di sana. Nabi tampak merasa kurang nyaman manakala memerlukan Zainab, isterinya itu. Sbgian ahli tafsir: ia turun berkaitan dgn usulan Umar bin Khattab. Kpd Nabi. Umar mengatakan : “Wahai Nabi, mrk berkumpul di rumahmu dan menemui isteri-isterimu, ada

orang2 yg baik dan ada yang tidak baik (al-fajir). Sebaiknya engkau memasang “hijab”. Maka turunlah ayat ini.

Para ahli fiqh kmudia mengubah dan memperluas makna “hijab” itu menjadi penutup tubuh perempuan, bkn lagi tirai pemisah ruang laki2-prmp dan tidak hny utk para isteri Nabi saja ttp jg perempuan2 muslimah lain. Ini agar tidak menimbulkan gangguan bernuansa seksual dan dlm kerangka “mensucikan hati”. Jadi “hijab” (sekat), pd dasarnya dimksudkn sbgai alat, mekanisme “pencegahan” terjadinya tindakan bernuansa seksual. Pertanyaan kita:apakah tujuan pencegahan dan “pensucian hati”, hanya bisa dilakukan dg alat dan cara ini?. Ini adalah cara pndng legal-formal dn mnyederhanakan masalah. Kesucian hati atau kesalehan, dlm bnyk sekali ayat al-Qur’an maupun hadits lebih ditekankan dan terletak pd cara pandang, pikiran dan hati manusia ?. “Dan pakaian Taqwa itulah yang terbaik?”.

Selanjutnya kita bicara tentang Jilbab. Kata ini disebutkan dalam surah yang sama, Al-Ahzab, ayat 59: يا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا (59)

“Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin ; hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya. Hal itu agar mereka lebih mudah dikenal dan karena itu mereka tidak diganggu”.(al-Ahzab, [33]:59).

Jilbab berasal dari kata kerja  jalaba yang berarti menutupkan sesuatu di atas sesuatu yang lain sehingga tidak dapat dilihat. Para ahli tafsir dari berbagai generasi menggambarkan pakaian jilbab dengan cara yang berbeda-beda, sesuai dengan pengetahuan dan pengalamannya masing-masing saat itu di tempatnya. Ibnu Abbas dan Abidah al Salmani merumuskan jilbab sebagai pakaian perempuan yang menutupi wajah berikut seluruh tubuhnya  kecuali satu mata.

Imam Qatadah dan Ibnu Abbas dalam pendapatnya yang lain mengatakan bahwa makna mengulurkan jilbab adalah menutupkan kain ke dahinya dan sebagian wajahnya dengan membiarkan kedua matanya tampak. Mengutip pendapat Muhammad bin Sirin, Ibnu Jarir mengatakan : “Saya bertanya kepada Abidah al-Salmani apakah arti kalimat: ‘yudnina ‘alaihinna min jalabibihin’ (hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya). Maka dia menutupkan wajahnya dan kepalanya sambil menampakkan mata kirinya”. Ibnu al Arabi dalam tafsir Ahkam al Qur-an, menyebutkan dua pendapat, pertama menutup kepalanya dengan kain itu (jilbab) di atas kerudungnya, kedua, menutup wajahnya dengan kain itu sehingga tidak tampak kecuali mata kirinya”.(III/1586). 

Mufassir besar, Ibnu Katsir mengemukakan :

والجلباب هو : الرداء فوق الخمار . قاله ابن مسعود ، وعبيدة ، وقتادة ، والحسن البصري ، وسعيد بن جبير ، وإبراهيم النخعي ، وعطاء الخراساني

“Jilbab adalah kain selendang di atas kerudung (al-Rida fauqa al-khumar). Ini yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud, Ubaidah, Qatadah, Hasan Basri, Sa’id bin Jubair, Ibrahim al Nakha’i, Atha al Khurasani dan lain-lain. Ia seperti/mirip “izar” (sarung) sekarang. (Baca : Ibnu Katsir, Tafsir, juz III/518). Al-Qurthubi, dalam kitab tafsirnya, mengatakan : “Jalabib, kata jamak dari Jilbab. Ia adalah kain yang lebih lebar daripada kerudung”. Diriwayatkan dari  Ibnu Abbas dan IbnuMas’ud : “ia adalah selendang. Ada yang mengatakan ia adalah ”qina”(cadar/penutup wajah). Sebagian ulama mengatakan bahwa ia adalah kain yang menutupi seluruh tubuhnya”.(Al-Qurthubi, Tafsir Jami’ Ahkam al-Qur’an, vol. 14/220). Mengapa memakai Jilbab?. Ini yang substansial.

Pertanyaan penting dalam hal ini adalah mengapa perempuan perlu mengenakan Jilbab?. Ayat tersebut sesungguhnya telah menyebutkannya secara eksplisit. Yakni :

ذلك ادنى ان يعرفن فلا يؤذين “agar mereka dikenali”, dan dengan demikian “mereka tidak akan dilecehkan”. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah dikenali dari apa atau sebagai siapa ?. Jawaban atas pertanyaan ini dapat dikaji dari penjelasan atas latarbelakang ayat ini diturunkan. Sebagaimana berikut ini 

JILBAB, HIJAB&KESALEHAN (5)


Ada sejumlah riwayat yang disampaikan para ahli tafsir mengenai latarbelakang turunnya ayat jilbab ini. Satu di antaranya disampaikan oleh Ibnu Sa’d dalam bukunya "al-Thabaqat" dari Abu Malik. Katanya : “para isteri nabi saw pada suatu malam keluar rumah untuk memenuhi keperluannya. Pada saat itu kaum munafiq menggoda dan mengganggu mereka. Mereka kemudian mengadukan peristiwa itu kepada nabi. Sesudah nabi menegur mereka, kaum munafiq itu mengatakan :”kami kira mereka  perempuan-perempuan budak. Lalu turunlah ayat 59 al-Ahzab ini. (Ibnu Katsir, hlm. Juz III/518). Ibnu Jarir at Thabari, menyimpulkan ayat ini sebagai larangan menyerupai cara berpakaian perempuan-perempuan budak. Umar pernah memukul seorang perempuan budak yang  memakai jilbab, sambil menghardik :”apakah kamu mau menyerupai perempuan merdeka, hai budak perempuan?”.(Ibnu al Arabi, Ahkam al Qur-an,III/1587). Dari informasi sabab nuzul ayat di atas sangatlah jelas bahwa Jilbab diperlukan hanya sebagai ciri pembeda antara perempuan merdeka dari perempuan budak, bukan pembeda antara perempuan muslimah dari perempuan non muslimah. Ciri tersebut diletakkan di atas kain kepala atau kerudungnya. Jika tidak demikian, maka pertanyaan penting kita adalah apakah sebelum ayat Jilbab diturunkan, perempuan-perempuan Arabia saat itu telanjang kepala, tidak mengenakan penutup kepala (kerudung)?. Secara antropologis, perempuan-peremuan Arabia, muslim maupun non muslim (Yahudi, Kristen dll) jauh sebelum Islam sampai hari ini mengenakan penutup kepala. Bahkan bukan hanya perempuan, tetapi juga kaum laki-laki. Ini adalah pakaian tradisi mereka. Pemakaian kerudung bagi perempuan dan laki-laki Arab adalah wajar dan sangat sesuai dengan kondisi geografis mereka yang umumnya panas dan berdebu pasir.

K.H. H7SEIN MUHAMMAD

@husein533








0 comments :

Post a Comment