Dewasa ini semakin banyak orang menyebut kata aurat. Tetapi apakah maknanya?
Aurat berasal dari bahasa Arab yang secara literal berarti celah, peluang, kekurangan, atau bagian tubuh yang tidak pantas diperlihatkan, sesuatu yang tercela atau memalukan untuk dilihat orang lain, sesuatu yang tabu. Dalam al-Qur’an kata aurat disebut sebanyak empat kali, dua kali dalam bentuk tunggal, singular (mufrad) dan dua kali dalam bentuk jamak, plural (jam’). Bentuk single disebut dalam surat al-Ahzâb [33]: 13) :
“Dan (ingatlah) ketika segolongan di antara mreka berkata: “Hai penduduk Yatsrib (Madinah), tidak ada tempat bagimu, maka kembalilah kamu”. Dan sebahagian dari mereka minta izin kepada Nabi (untuk kembali pulang) dengan berkata : “Sesungguhnya rumah-rumah kami terbuka (tidak ada penjaga)". Dan rumah-rumah itu sekali-kali tidak terbuka, mereka tidak lain hanya hendak lari”.
Sedangkan bentuk plural disebut dalam surat al-Nûr [24]: 31 dan 58. “.......atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita” (Q.S. al-Nur, [24]:31).
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu: sebelum sembahyang subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari dan sesudah sembahyang Isya'. (Itulah) tiga 'aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu”. (Q.S. al-Nur, [24]:58)
Kata aurat dalam surat al-Ahzâb [33]: 13. diartikan oleh mayoritas ulama tafsir sebagai celah (peluang), yang terbuka terhadap musuh, atau celah yang memungkinkan orang lain (musuh) mengambil kesempatan untuk menyerang. Sedangkan aurat dalam surat al-Nûr [24]: 31 dan 58, diartikan sebagai bagian tubuh yang tak pantas diperlihatkan, atau secara social dianggap buruk manakala ditampakkan di depan publik.
Aurat dalam perbincangan Fiqh (hukum Islam) sejalan dengan pandangan para ahli tafsir di atas. Bagian anggota tubuh manusia tersebut dianggap bisa menimbulkan daya tarik seksual orang lain jika dibiarkan terbuka. Karena itu, ulama fiqh berpendapat aurat harus ditutup.
Perdebatan ulama terjadi pada apa saja bagian2 tubuh yang harus disembunyikan (aurat) menurut hukum Islam (fiqh)?. Para ulama, pertama2 mengemukakan adanya kontroversi tentang batasan aurat antara laki-laki dan perempuan. Untuk aurat lelaki walaupun ada perbedaan dalam beberapa hal, tetapi secara umum mayoritas ulama berpendapat bahwa aurat lelaki adalah anggota tubuh antara pusat dan kedua lutut kaki. Sementara untuk aurat perempuan ulama fiqh juga berbeda pendapat, tetapi secara umum perempuan lebih tertutup dari lelaki.
Perempuan dalam buku-buku fiqh untuk isu aurat ini dibagi menjadi dua kelompok; perempuan merdeka (al-hurrah) dan perempuan hamba sahaya/budak perempuan (al-amah). Batas aurat untuk perempuan merdeka berbeda dari perempuan hamba sahaya (budak). Penyebutan “perempuan budak” dalam ayat ini meski mungkin dianggap tidak relevan lagi untuk saat ini, tetapi ini memperlihatkan adanya sejarah sosial perbudakan ketika teks-teks keagamaan ini turun, dan hal ini penting bagi analisis kita atas isu ini. Misalnya untuk mempersoalkan : mengapa aurat budak perempuan dibedakan. Bukankah sama2 perempuan?.
Mengenai aurat perempuan merdeka, batasannya tidaklah tunggal sebagaimana dipahami mayoritas publik selama ini, melainkan plural, beragam. Imam al Nawawi dan Al-Khatib al-Syarbini, yang merepresentasikan pandangan madzhab al-Syâfi’î, menyatakan aurat perempuan merdeka adalah seluruh tubuh kecuali muka (wajah) dan dua telapak tangan (bagian atas/luar dan bawah/dalam) sampai ke pergelangan tangan. Tetapi Imam Al-Muzanî, murid utama Imam al-Syafi’i, memberikan catatan bahwa kedua telapak kaki tidak termasuk aurat yang wajib ditutup.
Imâm al-Marghinânî dari madzhab Hanafî juga mengatakan bahwa aurat perempuan merdeka adalah seluruh anggota tubuh kecuali muka dan kedua telapak tangan. Tetapi pendapat lain dari mazhab ini pula menyatakan bahwa kedua telapak kaki tidak termasuk aurat yang wajib ditutup, dan ini merupakan pendapat yang lebih sahih (ashah). Lebih jauh dari itu Qadhi al-Qudhah Abû Yusuf, murid utama Imam Abu Hanifah, bahkan mentolerir sampai separoh betis kaki. Dalam arti bahwa separoh dari kaki perempuan bagian bawah ini boleh terbuka. Lengan tangan perempuan dan rambut yang terurai, menurutnya juga tidak termasuk aurat yang wajib ditutup.
Pandangan yang sama dengan mazhab Hanafi juga dikemukakan oleh Ibrahim al Nakha’i dan Imam Sufyan al Tsauri. Keduanya ahli fiqh besar dengan reputasi yang sama dengan para Imam Mazhab empat, meskipun dalam sejarah sosialnya kemudian pandangan fiqh mereka tidak lagi populer.
Dalam madzhab Maliki juga ada dua pendapat. Pendapat pertama mengatakan bahwa muka dan telapak tangan perempuan merdeka bukanlah aurat. Pendapat yang kedua, masih sejalan dengan yang pertama, tetapi mereka menambahkan bahwa kedua telapak kaki tidak termasuk aurat. Meskipun demikian, Imam Muhammad bin ‘Abd al-Lâh al-Maghribî memberikan catatan bahwa jika perempuan merasa khawatir terhadap fitnah, yakni menarik perhatian atau mengusik hasrat seksual laki-laki, maka perempuan tersebut harus menutup muka dan kedua telapak tangannya.
Dalam madzhab Hanbali aurat perempuan merdeka adalah seluruh anggota tubuh tanpa kecuali. Meski demikian, mazhab ini memberikan sedikit kelonggaran. Yakni bahwa wajah dan telapak tangan boleh dibuka ketika dalam shalat dan untuk keperluan yang tak dapat dihindari. Sebaliknya sebagian ulama dari mazhab ini justeru memberlakukan secara lebih ketat dengan mewajibkan menutup seluruh anggota tubuh tak terkecuali ketika dalam shalat. Abû Bakr al-Hârits, salah ulama dari kelompok ini mengatakan bahwa seluruh anggota tubuh perempuan merdeka adalah aurat yang wajib ditutup, termasuk kukunya.
Akhirnya, Imam Al-Syawkâni dalam bukunya yang terkenal, Nayl al-Awthâr menyampaikan kesimpulan atas isu batas aurat perempuan merdeka ini:
“Mengenai batas aurat perempuan merdeka para ulama berbeda pendapat; sebagian berpendapat bahwa seluruh tubuhnya adalah aurat, kecuali muka dan kedua telapak tangan. Ini dikemukakan oleh Imam al-Hâdi, al-Qâsim dalam satu dari dua pendapatnya, Imam al-Syâfi’î dalam salah satu dari beberapa pendapatnya, Abû Hanifah dalam satu dari dua riwayat darinya dan Malik. Pendapat lain mengatakan: “auratnya adalah seluruh tubuhnya kecuali muka, kedua telapak tangan, kedua telapak kaki dan tempat gelang kaki”. Ini disampaikan oleh al-Qâsim dalam satu pendapatnya, Abû Hanifah dalam satu riwayatnya, al-Tsawrî dan Abû al-‘Abbâs. Pendapat lain mengatakan bahwa auratnya adalah seluruh tubuhnya kecuali muka. Ini dikatakan oleh Ahmad bin Hanbal dan Dawûd. Ada yang mengatakan bahwa seluruh anggota tubuhnya adalah aurat tanpa kecuali. Ini dikatakan oleh sebagian murid al-Syâfi’î dan diriwayatkan juga dari Ahmad. Perbedaan pendapat ini terjadi karena perbedaan penafsiran mereka atas bunyi ayat “Illa Ma Zhahara Minha (kecuali apa yang biasa tampak)”.(Nail al-Awthar,II/55).
Mengenai batas aurat perempuan hamba sahaya (budak), para ulama juga berbeda pendapat. Al-Nawawî menyebutkan ada tiga pendapat;
Pertama, aurat mereka sama seperti aurat laki-laki. Yakni bagian tubuh antara pusat (puser) dan lutut. Pendapat ini dinyatakan oleh sebagian besar murid Imam al-Syâfi’î.
Kedua, auratnya sama seperti aurat perempuan merdeka kecuali kepala. Ini pendapat Imam al Thabari.
Ketiga bahwa auratnya adalah selain anggota tubuh yang diperlukan dibuka ketika bekerja (khidmah), yaitu selain seluruh kepala, leher dan kedua lengan tangan.
Kitab-kitab fiqh klasik lain juga menulis tidak jauh berbeda dari tiga pendapat di atas. Ada pendapat sebagian kecil ulama yang mengatakan bahwa perempuan hamba sahaya (budak) apabila sudah dikawini oleh seseorang, atau menjadi hak milik satu orang, maka auratnya adalah sama dengan perempuan merdeka.
Ibn Hazm al-Zhahirî, tokoh aliran literalis, juga berpendapat bahwa batas aurat perempuan hamba dan perempuan merdeka adalah sama dalam keadaan apapun, yaitu seluruh tubuh kecuali muka dan kedua telapak tangan, karena tidak ada teks syara’ yang otoritatif yang secara eksplisit membedakan antara perempuan merdeka dengan perempuan hamba.
Tetapi dalam pandangan mayoritas ulama fiqh, aurat perempuan merdeka lebih tertutup dari aurat perempuan hamba, bahkan mayoritas mereka cenderung menyamakan perempuan hamba sahaya dengan lelaki.
Dalam pandangan mayoritas ulama fiqh, aurat perempuan merdeka lebih tertutup daripada aurat perempuan hamba, bahkan mayoritas mereka cenderung menyamakan aurat perempuan hamba dengan aurat lelaki.
Dari uraian di atas tampak bahwa tidak ada batasan aurat yang sama, tunggal atau disepakati, untuk semua tubuh perempuan. Di balik seluruh pandangan tentang batas-batas aurat di atas tentu ada sederet dasar hukum yang menjadi rujukan dan pijakannya, baik berasal dari teks-teks agama (syara’) yang otoritatif; al-Qur’an dan hadits, maupun dari logika (‘illat) hukum.
Dasar Hukum
Sumber hukum utama yang dijadikan rujukan dalam isu aurat ini adalah surat al-Nûr ayat 31:
وقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ.( النور، 31.)
Artinya: “Katakanlah kepada kaum perempuan yang beriman: "Hendaklah mereka mengendalikan hasrat pandangan matanya, dan menjaga alat kelaminnya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya”. (QS. Al-Nûr, [24]: 31). Ibn Rushd dan al-Syawkânî mengatakan bahwa semua pendapat ulama tentang batas aurat perempuan merujuk kepada ayat al-Nûr 31 ini. Perbedaan pendapat kemudian muncul secara tak terelakkan karena adanya perbedaan dalam menafsiri phrase illâ mâ zhahara minhâ (kecuali yang biasa tampak/terbuka). Dalam ayat tersebut perempuan dianjurkan untuk tidak membuka zînat nya. Arti literalnya adalah perhiasan, seperti anting, kalung, gelang atau bahkan eye shadaw.
Tetapi sebagian besar ahli tafsir mengartikannya aurat. Kecuali yang memang biasa terbuka (mâ dzahara minhâ). Ada beberapa interpretasi tentang pengecualian ‘yang (biasa/memang) terbuka’ ini; sebagian mengatakan yang termasuk kategori mâ dzahara mibhâ (apa yang biasa Nampak) adalah wajah dan telapak tangan. Karena itu kedua bagian ini boleh dibiarkan terbuka dan tidak termasuk aurat perempuan, dan oleh sebab itu tidak wajib ditutup.
Sebagian ulama lain berpendapat bahwa wajah, kedua telapak tangan dan kedua telapak kaki termasuk pengecualian dari kata mâ dzahara minhâ (apa yang biasa terbuka). Dengan begitu, maka semua bagian tubuh tersebut tidak termasuk aurat perempuan yang wajib ditutup, bahkan sampai separoh lengan tangan dan sedikit di atas tumit masih dibolehkan terbuka.
Pendapat yang lain lagi mengatakan bahwa mâ zhahara minhâ artinya bagian yang terbuka secara tidak disengaja, seperti tersingkap angin, terjatuh, tersangkut atau terkena hal-hal lain yang tanpa disengaja membuat auratnya tersingkap. Dengan begitu, menurut pendapat terakhir ini, dalam situasi yang normal, wajar, seluruh anggota tubuh perempuan termasuk wajah, telapak tangan, dan telapak kaki adalah aurat yang wajib ditutup, tanpa ada pengecualian.
Perbedaan interpretasi masing-masing ulama di atas didasarkan pada beberapa hal; teks hadits, informasi atau pernyataan sahabat Nabi dan logika hukum (‘illat). Dalam literatur fiqh Syâfi’î, Hanafi dan Maliki, yang sering menjadi rujukan dalam memperkuat interpretasi mereka terhadap phrase mâ zahara minhâ adalah ucapan sahabat Nabi; Ibn ‘Abbâs r.a. “kecuali muka dan kedua telapak tangan”. Ucapan Ibn ‘Abbas r.a. ini sering menjadi rujukan bagi para ulama yang memilih untuk mengatakan bahwa wajah dan telapak tangan perempuan adalah bukan bagian aurat.
Sementara teks hadîts yang menjadi rujukan dalam mentafsiri ayat al-Nûr di atas, diantaranya adalah:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ أَسْمَاءَ بِنْتَ أبي بكر دَخَلَتْ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَعَلَيْهَا ثِيَابٌ رَقَاقٌ فَأَعْرَضَ عَنْهَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَقَالَ يَا أَسْمَاء إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتْ الْمَحِيْضَ لَمْ يَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ اِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ. أخرجه أبو داود.
Dari ‘Aisyah bahwa Asmâ bint Abu Bakr masuk ke Rasulullâh Saw, dia mengenakan pakaian yang tipis, (melihat hal it beliau Nabi memalingkan mukanya sambil berkata: “Wahai Asmâ!, sesungguhya perempuan itu kalau sudah sampai (umur) haidl (dewasa) tidak lagi pantas untuk memperlihatkan (tubuh)-nya kecuali ini dan ini”. Nabi memberi isyarat tangannya dengan menunjukkan ke muka dan telapak tangan beliau. (H.Riwayat Abû Dâwud). Teks hadîts ini menurut Abu Dâwud, sang perawi hadits ini, tidaklah valid, karena sanadnya (mata-rantai nara sumber) terputus. Perawinya; Khalid bin Durayk, tidak bertemu langsung dengan Siti ‘Aisyah r.a. Keadaan ini menyebabkan hadîts ini adalah dha’if (lemah). Khâlid sendiri, di samping tidak bertemu langsung dengan Siti Aisyah, menurut para ahli hadits, adalah orang yang tidak dikenal (majhûl). Beberapa teks hadits lain yang dijadikan dasar hukum untuk menyatakan bahwa aurat perempuan adalah seluruh tubuhnya selain muka dan telapak tangan adalah:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وآله وسلم قَالَ لَا يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ حَائِضٍ إِلَّا بِخِمَارٍ. أخرجه أبو داود، والترمذي، وابن ماجه.
Dari ‘Aisyah r.a. bahwa Nabi Saw bersabda: “Allah tidak menerima shalât perempuan yang sudah haid kecuali dengan memakai tutup kepala”. Riwayat Ibn Majah.
Teks hadîts ini dinilai para ahli hadits secara berbeda. Al-Turmudzî memberinya predikat baik (hasan). Ibn Hibbân menilai shahîh. Sementara Imam al-Dâruqthbî menganggapnya mawquf, berhenti hanya sampai sahabat, tidak sampai Nabi. Bahkan Imam al-Hâkim menganggap hadits ini bermasalah, cacat (ma’lûl).
Di dalam teks ini disebutkan, perempuan yang sudah haid, jika hendak shalat diperintahkan menutup kepalanya. Jika perintah itu diartikan kewajiban, maka apakah kewajiban ini berlaku bagi bagian wajah, telapak tangan d telapak kaki?. Teks ini tdk menyebutkannya secara eksplisit, tp ulama sepakat, wajah dan dua telapak tangan bukan bgian dari aurat yg wajib ditutup saat salat. Utk telapak kaki, ulama berbeda. Perbedaan juga muncul dalam kasus aurat di luar salat, seperti sudah disebutkan. Teks hadîts ini hanya bisa dijadikan dasar legitimasi wajibnya kepala perempuan dlm shalat ditutup kerudung (khimâr) dan ini, bagi mayoritas ulama, hny bagi perempuan merdeka, bkn perempuan budak. Hadîts lain : “Umm Salamah bertanya kpd Nabi ttg perempuan yg salat memakai baju dan kain penutup kepala, tanpa memakai sarung. Nabi: “(Boleh) kalau baju itu panjang sampai menutup bagian atas dari telapak kakinya”. (HR Abû Dâwud). Hadîts ini dianggap shahîh oleh sebagian ulama. Tapi ulama madzhab Hanafi menganggapnya lemah (dla’îf). Al-Zayla’î mengtkn: sejumlh ulama hadîts melemahkan teks hadîts ini, a.l. Ibn al-Jawzî dan Abu Hâtim. Karena itu, ulama madzhab Hanafî membolehkan telapak kaki perempuan terbuka baik di dlm maupun di luar salat, meski di dlm teks hadits ini secara eksplisit disebutkan telapak kaki perempuan harus ditutup ketika salat, yg berarti telapak kaki itu aurat.
Ulama Hanbali yang mengatakan bahwa seluruh tubuh perempuan adalah aurat tanpa kecuali merujuk kepada teks hadits berikut:
قال النبي صلى الله عليه وسلم: الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ مَسْتُورَةٌ.
"Nabi Saw bersabda: “Bahwa perempuan adalah aurat yang (harus) tertutup”. Banyak literatur fiqh klasik yang menulis teks hadits ini dengan redaksi seperti tertulis di atas. Akan tetapi Muhammad bin ‘Abd al-Wâhid al-Sîwâsî al-Hanafî (w. 681H) dan yang lain menyatakan bahwa teks seprti ini tidak ada dalam literatur hadits. Yang ada adalah riwayat al-Turmudzi seperti ini :Nabi Saw: “Perempuan adalah aurat, apabila ia keluar (dari rumah) akan diikuti setan”.(HR Tirmizi) dan (Ini) hadits Hasan Shahih Gharîb.Walaupun ulama Hanbali merujuk kepada teks hadits ini, tp mrk mengecualikan tapak tangan d wajah.
Pandangan fiqh yang lebih longgar menunjukkan argument dari beberapa hadits Nabi. Al-Thabari dalam Tafsirnya : Jami’a al-Bayan, menyebut :
قال قتادة : وبلغني أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : " لَا يَحِلُّ لِامْرأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ، أَنْ تُخْرِجَ يَدَهَا إِلَّا إِلَى هَاهُنَا " . وَقَبَضَ نِصْفَ الذِّرَاعِ .
“Qatadah mengatakan : dan telah sampai kabar kepadaku, bahwa Nabi mengatakan :”Tidak halal bagi seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan hari Akhirat, menampakkan kedua tangannya, kecuali sampai pada batas ini. Dan Nabi memegang separoh lengannya”. (Tafsir al-Thabari).
Hadits lain dari Siti Aisyah menyebutkan :
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: " إِذَا عَرَكَتْ الْمَرْأَةُ لَمْ يَحِلَّ لَهَا أَنْ تُظْهِرَ إِلَّا وَجْهَهَا ، وَإِلَّا مَا دُوْنَ هَذَا " ، وَقَبَضَ عَلَى ذِرَاعِ نَفْسِهِ ، فَتَرَكَ بَيْنَ قَبْضَتِهِ وَبَيْنَ الْكَفِّ مِثْل قَبْضَةٍ أُخْرَى . وأشار به أبو علي . (تفسير الطبرى)
Nabi SAW bersabda : “Bila seorang perempuan telah dewasa, maka tidaklah halal baginya memperlihatkan bagian-bagian tubuhnya, kecuali mukanya dan selain itu. Nabi memegang lengannya sendiri. Beliau menyilangkan genggaman tangan yang satu ke tangan lainnya”.(Tafsir al-Thabari). Antara Teks dan Realitas
Uraian sederhana mengenai dasar hukum batasan aurat perempuan di atas memperlihatkan kepada kita bahwa teks syara’ (agama) yang otoritatif; al Qur’an dan Hadits Nabi, tidak menyebutkan batas-batas aurat perempuan secara jelas dan tegas. Kenyataan seperti ini memberikan peluang yang luas bagi para ulama madzhab untuk menginterpretasikannya sesuai kapasitas dan kecenderungan masing-masing yang tidak mungkin lepas dari pergumulan mereka dengan realitas kehidupan yang terjadi dan berkembang di sekitar mereka pada masanya masing-masing.
Yang menarik adalah bahwa mereka yang mewajibkan tubuh perempuan harus ditutup seluruhnya juga mengecualikan (takhshîsh) perempuan hamba/al-amah). Tubuh perempuan hamba sahaya dalam pandangan mereka jauh lebih terbuka, meski tanpa didasari oleh pernyataan eksplisit dari al-Qur’ân maupun hadits. Dengan kata lain teks yang menyebutkan keseluruhan tubuh perempuan sebagai aurat menjadi terbatas pada kelompok perempuan tertentu saja, yaitu perempuan merdeka. Pembatasan dan pengecualian ini dalam pandangan ulama fiqh boleh jadi merujuk kepada status dan fungsi sosial perempuan yang terjadi pada saat itu; apakah dia seorang merdeka atau seorang budak. Dalam konstruksi sosial masyarakat Islam saat itu jika dia seorang perempuan merdeka, maka mereka, diperintahkan agar berada di rumah dan dianjurkan untuk tidak bekerja di luar rumah. Karena itu mereka tidak keluar rumah dan tidak banyak bergaul dengan banyak orang di ruang publik. Akan tetapi jika dia seorang hamba, maka dia memiliki keleluasaan untuk berkerja, baik di ruang domestic maupun ruang publik, karena mereka memang dikonstruksikan secara social untuk mengabdi, melayan, bekerja dan berbuat apa saja yang diperlukan para tuan/majikannya. Dengan alasan-alasan di atas, maka adalah masuk akal jika perempuan merdeka harus lebih tertutup dari perempuan hamba sahaya.
Realitas konstruksi social seperti itulah yang tampaknya memberikan inspirasi dan yang melatarbelakangi beragam pendapat para ulama di atas dengan cara pandang dan analisis yang berbeda-beda. Ulama yang berpendapat bahwa wajah, telapak tangan dan atau lengan (dzira’), serta kaki sampai betis perempuan merdeka boleh terbuka, boleh jadi karena alasan keperluan atau kebutuhan (li al-hajah) tertentu dan diizinkan suaminya (bagi istri). Alasan lain adalah agar tidak merepotkan atau menyulitkan dalam bergerak (daf’an li al-haraj wa al masyaqqah). Alasan yang sama juga dijadikan dasar mereka untuk berpendapat bahwa kepala, leher, lengan, kaki, bahkan seluruh tubuh perempuan hamba sahaya selain bagian tubuh antara pusat dan lutut sebagai bukan aurat yang oleh karena itu bagian-bagian tersebut boleh dibiarkan tampak/terbuka.
Ulama madzhab Hanafi, Muhammad bin ‘Abd al-Wâhid al-Sîwâsî (w. 681H) dalam kitab Syarh Fath al-Qadîr menyampaikan beragam pandangan ulama dalam internal madzhabnya mengenai lengan perempuan. Katanya sejumlah ulama mewajibkan menutupnya. Sebagian mengatakan ia bukan aurat dan tidak wajib ditutup dan sebagian lagi berpendapat bahwa lengan wajib ditutup, hanya ketika shalat saja dan tidak wajib ketika tidak (di luar) shalat. Argumen mereka bahwa lengan perempuan bukan aurat, sebagaimana pandangan Imam Abû Yûsuf, adalah: bahwa lengan tangan merupakan anggota tubuh yang perlu dibuka manakala melayani orang lain dan ketika mereka bekerja.
Ibn Qudâmah bermazhab Hambali dlm al-Mughnî berkata:
وقال بعض أصحابنا: ‘‘الْمَرْأَةُ كُلُّهَا عَوْرَةٌ؛ لِأَنَّهُ قَدْ رُوِىَ فِي حَدِيْثٍ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم: الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ، رواه الترمذي. وقال: حديث حسن صحيح، لَكِنْ رَخَّصَ لَهَا فِي كَشْفِ وَجْهِهَا وَكَفَّيْهَا لِمَا فِي تَغْطِيَتِهِ مِنَ الْمَشَقَّةِ’’.
Sebagian ulama kita berkata: “Bahwa (tubuh) perempuan, seluruhnya adalah aurat. Karena ada hadits diriwayatkan dari Nabi Saw: bahwa perempuan adalah aurat. Ini diriwayatkan al-Turmudzî. Dia berkata: Ini adalah hadits Hasan Shahih. Tetapi dia (perempuan) dibolehkan membuka muka (wajah) dan telapak tangannya, karena menutup anggota tersebut adalah merepotkan (susah)”. Al-Marghînânî berkata dalam kitab al-Hidâyah: “Yang menjadi batas aurat lelaki adalah juga menjadi batas aurat perempuan hamba sahaya (al-amah), perut dan punggungnya adalah aurat, bagian tubuhnya selain itu bukanlah aurat, karena ‘Umar pernah mengatakan: “Lepaskan tutup kepalamu wahai Daffâr (nama seorang hamba sahaya perempuan/amat), apakah kamu ingin menyerupai perempuan merdeka?”, juga karena biasanya dia keluar untuk keperluan tuannya dengan pakaian kerjanya, maka (dalam hal aurat) dia dianggap keluarga sedarah (mahram) bagi semua lelaki, untuk menolak kesulitan.”
Ulama kontemporer Muhammad ‘Ali al-Shâbûnî menjustifikasi pendapat mayoritas ulama mengenai aurat perempuan hamba, beliau berkata:
“Perempuan hamba sebagai perempuan pekerja banyak keluar rumah dan pulang pergi ke pasar untuk melayani dan memenuhi segala keperluan tuan/majikannya; apabila diperintahkan untuk berpakaian serba tertutup ketika keluar rumah maka itu merepotkan (haraj) dan memberatkannya (masyaqqah), lain halnya dengan perempuan merdeka yang memang diperintahkan untuk tetap berada di dalam rumah dan tidak keluar rumah kecuali karena keperluan mendesak, maka dia tidak ada kerepotan atau keberatan sebagaimana yang dialami oleh perempuan hamba sahaya”.
Orang-orang yang dikecualikan
Jika kita membaca dengan cermat ayat Q.S. al-Nur, 31 di atas, maka di situ akan ditemukan dengan jelas disebutkan sejumlah laki-laki yang dikecualikan
Mereka adalah para mahram (keluarga dekat) perempuan. Al-Qur'an menyatakan :
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَىٰ عَوْرَاتِ النِّسَاءِ
Dan janganlah mereka (kaum perempuan) menampakkan perhiasannya kecuali kepada
1. suami mereka,
2. ayah mereka,
3. ayah suami mereka (mertua), 4. putera-putera mereka,
5. putera-putera suami mereka, (anak tiri)
6. saudara-saudara laki-laki mereka,
7. putera-putera saudara lelaki mereka (keponakan)
8. putera-putera saudara perempuan mereka, (keponakan)
9. Perempuan2 Islam,
10. Budak-budak yang mereka miliki,
11. laki-laki dewasa yang tidak mempunyai hasrat (thdp perempuan)
12. anak-anak laki (bocah) yang belum mengerti tentang aurat wanita.
Di hadapan para mahram dan laki-laki ini, aurat perempuan lebih terbuka. Ini boleh jadi karena mereka secara tradisi bukan orang-orang yang akan mengancam atau membahayakan seksualitas perempuan tersebut.
Begitulah. Dari berbagai pandangan para ahli fiqh di atas terlihat dengan jelas bahwa teks-teks keagamaan yang membicarakan tentang isu batas aurat perempuan sesungguhnya tidaklah berdiri di ruang kosong yang tanpa pijakan pada realitas yang ada dan berkembang di sekitar para penafsir atau ulama di atas. Ungkapan ‘demi keperluan’ (talbiyat al-hâjah) dan ‘menghindar kesulitan’ (daf’an li al-haraj) adalah ungkapan-ungkapan yang berkaitan dengan kehidupan real manusia/masyarakat. Kondisinya sangat relatif; berbeda dan berubah dari satu waktu ke waktu yang lain dan dari satu tempat ke tempat yang lain. Jadi pendapat-pendapat ulama tentang aurat dalam kacamata ini sesungguhnya adalah bersifat kontekstual. Apabila kita dapat memahami dan sepakat bahwa ‘keberatan/kesulitan’ dan ‘keperluan/kebutuhan’ merupakan aspek-aspek yang menjadi alasan substansial dalam menginterpretasikan teks-teks aurat, maka isu aurat bukanlah terminologi agama yang sifatnya universal.
Dengan kata lain batasan-batasan mengenainya bukan ditentukan oleh teks-teks agama an sich. Dalam hal ini, kata aurat sama halnya dengan kata yang lain seperti aib dan memalukan, sebagaimana juga kata wajar, sopan atau santun. Kata-kata ini bukanlah terminologi agama tetapi terminologi sosial budaya yang sangat relatif dan kontekstual, yakni berbeda-beda dari satu tempat ke tempat yang lain dan dari waktu ke waktu yang lain.
Perintah menutup aurat memang benar merupakan bagian dari ketentuan agama. Tetapi sejauh mana batasan-batasan aurat, sesungguhnya sangat ditentukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan norma-norma social (masyarakat) dan kemanusiaan yang sebenarnya tidak tunggal dan sangat kompleks. Untuk itu, dalam menentukan batas aurat, baik untuk lelaki maupun perempuan diperlukan suatu kondisi sosial dan mekanisme tertentu yang lebih akomodatif dan responsif terhadap segala nilai dan tradisi yang berkembang di masyarakat. Dalam hal ini, pertimbangan ‘khawf al-fitnah’ (kekhawatiran menimbulkan daya tarik seksual laki-laki yang bisa menciptakan petaka sosial) dalam konteks social dan budaya yang berubah perlu dipikirkan dan dilakukan. Kita tidak perlu membayangkan kemungkinan sebuah situasi social yang membenarkan ketelanjangan perempuan dalam ruang publik. Dalam kebudayaan masyarakat yang maju, bebas, secular dan anti agama sekalipun, situasi social di sana tetap saja menjaga kesopanan dalam berpakaian. Jika kita berharap agar kaum perempuan berpakaian secara lebih tertutup, maka tentu saja sah dan tidak masalah. Akan tetapi untuk kepentingan ini diperlukan cara-cara persuasive, melalui pendidikan moral, penciptaan tradisi yang menghormati perempuan dan tidak melibatkan intervensi Negara.
Hal yang paling utama untuk dipertimbangkan dalam isu ini atau isu-isu lain yang sejenis, adalah bagaimana kita dapat menciptakan ruang-ruang sosial dan mekanisme aturan tertentu agar tubuh manusia, terutama perempuan, tidak dieksploitasi untuk kepentingan dan hasrat2 biologis rendaha dan murahan. Mungkinkah perlindungan bagi perempuan dilakukan atau dibuatkan rumusannya tanpa harus membatasi hak2nya utk berekspresi dan beraktualisasi diri dalam ruang sosial?
Hal paling penting lainnya dan sejatinya paling mendasar adalah bagaimana kita mampu menciptakan sekaligus mensosialisasikan cara pandang individu maupun social yang menghormati dirinya sendiri dan menghormati yang lain, tanpa perlu membedakan status sosial dan latarbelakang identitas seseorang, termasuk jenis kelamin, serta tidak merendahkan atau melecehkannya, apalagi melakukan kekerasan seksual. Cara ini lebih mendasar, sehingga kaum perempuan tetap dapat menjalani hidupnya di mana saja dan kapan saja tanpa harus dihantui oleh rasa cemas dan takut akan mata jalang laki-laki yang tak beradab.
Dan ini berarti kita harus mendidik laki-laki dan perempuan menjadi orang-orang saleh. Lalu apakah maknanya? Apakah yang paling substansial bagi kesalehan seseorang, perempuan maupun laki-laki?. Dalam banyak teks keagamaan : al-Qur’an dan hadits nabi, kesalehan seseorang justeru terletak pada pengendalian hati dan tindakan/perbuatannya, yang populer disebut taqwa.
Betapa menarik dan krusialnya sekaligus indah kata-kata pertama al-Qur'an pada surah al-Nur 30 dan 31 :
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ
"Sampaikan (wahai Nabi) kepada kaum laki-laki yang beriman : hendaklah mereka mengendalikan pandangan matanya dan menjaga "kehormatan" (alat kelamin). Itu lebih membersihkan hatimu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka lakukan". (Q.s. al-Nur, 30).
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ
Sampaikan (wahai Nabi) kepada perempuan-perempuan beriman, hendaklah mereka mengendalikan pandangan matanya dan menjaga kesucian "kehormatan"(alat kelamin)mu".(Q.s. al-Nur, 31)
0 comments :
Post a Comment