Friday, September 11, 2020

PEREMPUAN ULAMA DI ATAS PANGGUNG SEJARAH

Saya selalu merasa indah untuk menyanyikan puisi-puisi yang memesona, gubahan Raja Penyair Arab terkemuka : Ahmad Syauqi, ini.

هَذَا رَسُولُ اللهِ لَمْ يَنْقُصْ حُقُوقَ المُؤْمِنَاتِ

الْعِلْمُ كَانَ شَرِيعَةً لِنِسَآئِهِ المُتُفَقِّهَاتِ

رُضْنَ التِّجَارَةَ وَالسِّيَا سَةَ وَالشُّؤُونَ الأُخْرَيَاتِ

وَلَقَدْ عَلَتْ بِبَنَاتِهِ لُجَجُ العُلُومِ الزَّاخِرَاتِ

كَانَتْ سُكَيْنَةُ تَمْلَأُ الدُّنْـ يَا وَتَهْزَأُ بِالرُّوَاةِ

رَوَتِ الحَدِيثَ وَفَسَّرَتْ آيَ الْكِتَابِ البَيِّنَاتِ

وَحَضَارَةُ الإِسْلَامِ تَنْـ طِقُ عَنْ مَكَانِ المُسْلِمَاتِ

بَغْدَاد دَارُ العَالِمَا تِ وَمَنْزِلُ المُتَأَدِّبَاتِ

وَدِمَشْقُ تَحْتَ أُمَيَّة أُمُّ الجَوَارِي النَّابِغَاتِ

وَرِيَاضُ أَنْدَلُسْ نَمَيْـ نَ الهَاتِفَاتِ الشَّاعِرَاتِ


Lihatlah

Utusan Tuhan ini

Ia tak pernah mencatut hak-hak perempuan beriman

Ilmu pengetahuan menjadi jalan hidup keluarganya

Mereka menjadi pengusaha,

Ahli hukum,

Aktivis politik, kebudayaan dan sastra


Berkat putri-putri Nabi

Gelombang pengetahuan menjulang ke puncak langit


Lihatlah, Sukainah

Namanya menebar harum di seluruh pojok bumi

Ia mengajarkan kata-kata Nabi

Dan menafsirkan kitab suci


Lihatlah

Buku-buku dan kaligrafi yang indah

Bercerita tentang ruang

Perempuan-perempuan Islam yang gagah


Baghdad

adalah rumah perempuan-perempuan cerdas

Padepokan perempuan-perempuan elok

Yang mengaji huruf-huruf suci dan menulis sastra

Damaskus zaman Umayyah

adalah sang ibu bagi gadis-gadis cendekia

Tempat pertemuan seribu perempuan piawai.


Taman-taman Andalusia

merekah bunga warna-warni

Perempuan-perempuan cantik bernyanyi riang

Dan gadis-gadis anggun membaca puisi


Puisi-puisi di atas menggambarkan fenomena dan realitas perempuan Islam di atas panggung sejarah Islam awal. Pusat-pusat peradaban Islam, paling tidak di tiga kota metropolitan, pusat peradaban dunia saat itu: Damaskus (Siria), Baghdad (Irak) dan Andalusia (Spanyol) memperlihatkan aktifitas, peran dan posisi kaum perempuan dalam ruang publik, politik, ekonomi dan budaya.

Fakta-fakta sejarah dalam peradaban awal Islam ini menunjukkan dengan pasti betapa banyak perempuan yang menjadi ulama, cendikia dan intelektual, dengan beragam keahlian dan dengan kapasitas intelektual yang relatif sama dengan bahkan sebagian mengungguli ulama laki-laki. Fakta ini juga dengan sendirinya telah menggugat anggapan banyak orang bahwa akal, intelektualitas, kecerdasan dan moralitas perempuan lebih rendah dari akal, intelektualitas dan moralitas laki-laki.

Islam hadir untuk sebuah cita-cita kemanusiaan universal : membebaskan penindasan, diskriminasi dan kebodohan menuju perwujudan kehidupan yang setara, berkeadilan dan berilmu pengetahuan bagi semua manusia : laki-laki dan perempuan.


Nama-nama perempuan ulama/intelektual/cendikia, perjalanan hidup dan karya-karya mereka terekam dengan baik dalam banyak buku dan tgerukir indah dalam kaligrafi. Ibnu Hajar, seorang ahli hadits terkemuka dalam bukunya : “Al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah”, menyebut 500 perempuan ahli hadits dan menulis jejak langkah mereka. Nama-nama mereka juga ditulis ahli sejumlah ulama : Imam Abu Zakariya Muhyiddin bin Syaraf al-Nawawi dl-Dimasyq, muhaddits faqih besar dalam “Tahzib al-Asma wa al-Rijal”. Khalid al-Baghdadi (1779-1827 M), seorang sufi besar menulis ratusan perempuan ulama dan cendikia dalam bukunya yang sangat terkenal : “Tarikh Baghdad”. Juga Abu Abdullah Muhammad bin Sa’ad (784-845 M), seorang sejarawan awaal terkemuka menulis mencatat nama-nama dan sejarah hidup mereka dalam karyanya yang termasyhur “Al-Thabaqat”. Demikian juga Imam al-Sakhawi, seorang sejarawan, ahli hadits, tafsir dan sastra, dalam bukunya “al-Dhaw al-Lami’ li Ahli al-Qarn al-Tasi’” dan lain-lain.

Ignaz Goldziher, intelektual, peneliti dan orientalis masyhur menyebut paling tidak 15 % ulama ahli hadits adlh perempuan.  Harap dicatat bahwa dalam konteks Islam awal, makna “ilmu pengetahuan”, tidak terbatas hanya menunjuk pada ilmu pengetahuan keagamaan atau “al-Ulum al-Diniyyah”, melainkan semua disiplin ilmu pengetahuan, seperti kedokteran, fisika, matematika, astronomi, sastra, sosiologi, filsafat, dan ilmu2 humaniora lainnya. Sepanjang ilmu itu berguna bagi masyarakat, maka adalah ilmu agama.

Jumlah ulama perempuan yg lebih sedikit dari ulama laki-laki bukanlah sesuatu yg essensial. Satu atau dua orang perempuan ulama saja sebenarnya sdh cukup utk membuktikan bhw perempuan memiliki potensi dan kwalitas intelektual dan moral yg tidak selalu lebih rendah atau lebih lemah dr kaum laki-laki. Dlm banyak fakta, ulama berjenis kelamin perempuan justeru lebih unggul dan lebih terhormat daripada ulama berjenis kelamin laki-laki. Jadi relatif saja. Hal itu merupakan konstruksi social, kebudayaan dan politik.

Soalnya terletak kepada apakah kita, masyarakat, budaya, tradisi, politik, instrumen2 hukum, pandangan keagamaan dan kebijakan lain memberi ruang dan akses yg sama untuk laki-laki dan perempuan. Para perempuan ulama tersebut dlm sejarahnya tlh mengambil perannya sbg tokoh agama, tokoh intelektual dan ilmu pengetahuan, tokoh politik dan tokoh dgn moralitas yg terpuji. Aktifitas mrk tdk hanya dalam ruang domestik (rumah) melainkan jg dlm ruang publik politik dalam arti yg lebih luas. Mereka bekerjasama dgn ulama laki-laki membangun peradaban Islam. Adalah menarik bhw kehadiran tubuh mrk di ruang publik bersama kaum laki2 tidak pernah dipersoalkan. Dr. Asma al-Murabit, direktur Pusat Studi Islam dan Gender, Maroko, menulis dgn indah : "Kuliah keilmuan Islam diikuti oleh mahasiswa laki-laki dan perempuan. Kami tidak menemukan, dalam generasi Islam awal, para cendikia yang tidak belajar kpd perempuan, kecuali bbrp saja. Pendidikan diberikan untuk laki-laki dan perempuan secara sama, dan tidak ada pemisah ruang antara laki-laki dan perempuan. Pada masa ini jarang sekali seorang ulama laki-laki yg tidak belajar kpd perempuan ulama”.

Ulama Besar Laki-laki Murid Perempuan Ulama

Sejarah orang-orang besar adalah sejarah perempuan-perempuan. Mereka dilahirkan dan dididik oleh seorang perempuan. Sebagian para perempuan itu adalah ulama. Keulamaan perempuan dan peran mereka sebagai guru para ulama laki-laki telah hadir sejak awal sejarah Islam. Sebagian mereka menjadi guru para sahabat laki-laki. Antara lain :


Aisyah bint Abu Bakar. Ia disebut sebagai “A’lam al-Nas wa Afqah al-Nas wa Ahsan al-Nas Ra’yan fi al-‘Ammah” (orang paling pandai, paling faqih dan paling baik di antara semua orang). Al-Dzahabi dalam “Siyar A’lam al-Nubala” (riwayat hidup ulama-ulama cerdas) mengatakan: “tidak kurang dari 160 sahabat laki-laki mengaji pada Siti Aisyah”. Sebagian ahli hadits lain menyebut :

Murid-murid Aisyah ada 299 orang: 67 perempuan dan 232 laki-laki.

Umm Salamah binti Abi Umayyah mengajar 101 orang : 23 perempuan dan 78 laki-laki.

Hafshah binti Umar : 20 murid: 3 perempuan dan 17 laki-laki.

Hujaimiyah al-Washabiyyah : 22 murid laki-laki.

Ramlah bint Abi Sufyan : 21 murid : 3 perempuan dan 18 laki-laki.

Fatimah binti Qais : 11 murid laki-laki. (Baca : Muhammad al-Habasy, Al-Mar’ah Baina al-Syari’ah wa al-Hayah, hlm. 16)

Ibn Arabi, adalah sufi terbesar, (al-Syekh al-Akbar) sepanjang zaman. Kebesarannya diperokeh dari kaum perempuan. Ia banyak menimba ilmu dari mereka. Pandangan-pandangannya tentang teori "Wahdah al-Wujud" memeroleh inspirasi dari perempuan. Paling tidak ada tiga orang perempuan ulama yang menjadi guru Ibn Arabi. Pertama, Fakhr al-Nisa. Perempuan ini adalah sufi terkemuka dan idola para ulama laki-laki dan perempuan. Ibnu Arabi mengatakan :

“Aku datang menemuinya untuk mendengarkan tutur katanya, karena riwayat hadits dia kelas tinggi. Ketika pertama kali aku mendengarnya aku menulis surat kepadanya :

حالى وحالك فى الرواية واحد ما القصد الا العلم و استعماله "Keadaanku dan keadaanmu dalam soal riwayat adalah sama. Tujuanku ke sini hanyalah untuk menambah ilmu dan mengamalkannya". Kpd perempuan ulama ini, Ibn Arabi  mengaji kitab hadits “Sunan al-Tirmidzîy”. Ibnu Arabi mengatakan : "Aku mendengar/mengaji “Sunan Tirmidzi” kpd orang Makkah yg jadi Imam masyarakat di negeri yang aman damai”  Kedua, Qurrah al-Ain. Pertemuannya dgn perempuan ulama ini terjadi ketika Ibn Arabi tengah asyik tawaf. Katanya, “Hubunganku dgnya sangat dekat. Aku mengaji kpdnya. Aku memandang dia seorang perempuan yg sangat kaya pengetahuan ketuhanan”. Perempuan ketiga adlh Sayyidah Nizham. Ia biasa dipanggil “Ain al-Syams” (mata matahari), dan “Syaikhah al-Haramain” (Guru Besar Makkah dan Madinah). Ibn Arabi mengatakan : “Ia matahari di antara ulama, taman indah di antara para sastrawan. Wajahnya jelita, tutur katanya lembut, otaknya cemerlang, kata2nya bagai untaian kalung yg gemerlap cahaya penuh keindahan dan penampilannya benar-benar anggun. Jika dia bicara semua yang ada menjadi bisu”. Ibnu Asakir, adalah murid dari banyak ulama, 80 lebih adlh perempuan. A.l. Syuhdah bin al-Abri, perempuan ulama, guru sejumlah ulama besar, seperti Ibn al-Jauzi dan Ibn Qudamah al-Hanbali. Keduanya ahli hadits terkemuka. Ummu Habibah al-Ashbihani, adlh guru dari al-Hafiz Ibn Mundzir. Fathimah bt ‘Ala al-Din al Samarqandi adlh faqihah jalilah, ahli fiqh besar, suami Syeikh Ala al-Kasani, penulis buku “Al-Badai’ al-Shanai’”

Perempuan-perempuan termarginalkan dari panggung Sejarah


Demikianlah beberapa saja ulama besar yang belajar dan berguru kepada para perempuan ulama. Sejarah ini terdokumentasi dengan baik di banyak karya biografi para sejarawan Islam terkemuka sebagaimana sudah di kemukakan. Teramat sulit bagi kita untuk mengingkari kenyataan itu.

Sayang sekali, sejarah kaum muslimin sesudah itu, memasukkan kembali kaum perempuan ke dalam kerangkeng-kerangkeng rumahnya. Kaum perempuan didomestikasi. Potensi intelektualnya ditekan. Aktivitas intelektual dibatasi. Jika pun diberi ruang untuk belajar, maka hanya sebatas bisa membaca dan menulis. Pengajaran kepada mereka dibatasi untuk bisa belajar salat, puasa, zakat, haji, haid, nifas dan isu-isu reproduksi lainnya. Kerja-kerja sosial-politik-kebudayaan mereka dipasung. Mereka dilarang menduduki posisi pengambil kebijakan publik, politik. Perempuan tidak boleh menjadi hakim pengadilan, pemimpin Daerah apalagi Kepala Negara/Pemerintahan. Bukan sekedar sampai di sini, mereka bahkan dilarang keluar dari rumahnya, kecuali disertai keluarganya. Karena dalam pandangan publik keberadaan perempuan di ruang publik, bisa bikin petaka sosial.


Tak pekak, perempuan-perempuan Islam pada gilirannya tenggelam dalam timbunan pergumulan sejarah. Mereka dilupakan dan dipinggirkan (al-muhammasyat) dari dialektika social-kebudayaan-politik. Sistem sosial patriarkhis kembali menguasai domain pikiran publik, begitu dominan. Konon itu dilakukan atas nama kasih sayang, perlindungan dan penghormatan terhadap perempuan. Dengan kata lain, sikap dan tindakan tersebut dilakukan agar mereka tidak menjadi sumber "fitnah" (kekacauan sosial atau mengganggu ketertiban masyarakat). Mereka berdalih dengan hadits Nabi Saw : "Aku tidak meninggalkan suatu "fitnah" yang lebih membayakan laki-laki selain perempuan". Ini dimaknai bahwa perempuan harus dikurung di dalam rumahnya agar tidak membikin kehancuran kaum laki-laki. Bukannya bermakna "kalian harus menghormati kaum perempuan, jangan mengganggu mereka, jangan merendahkan mereka, jangan melecehkan mereka. Karena jika kalian melakukannya, kalian akan merugi dan menjadi nista".

Dr. Muhammad al-Habasy, sarjana Suriah, dalam bukunya : “Al-Mar’ah Baina al-Syari’ah wa al-Hayah” mengatakan bahwa peminggiran kaum perempuan itu didasarkan pada argument prinsip “Sadd al-Dzari’ah” (menutup pintu kerusakan). Keikutsertaan atau keterlibatan kaum perempuan dalam dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan, baik sebagai pelajar maupun guru, dan aktifitas mereka di ruang publik, dipandang bisa atau berpotensi menimbulkan “fitnah” dan “inhiraf” (penyimpangan) moral.


Kata "Fitnah" yang secara genuin bermakna cobaan atau ujian diri, berubah menjadi bermakna menggoda. Ya menggoda hati laki-laki. Bahkan berkembang menjadi "kekacauan sosial". Nah dua kata sakti itu : "Fitnah" dan "Sadd Fzari'ah" yang membelenggu aktualisasi diri kaum perempuan. Jargonnya : “Demi melindungi” dan “Menjaga Kesucian Moral”. Dunia sepertinya telah kehilangan cara bagaimana “Melindungi tanpa Membatasi”. Tindakan selanjutnya adalah “membuat aturan-aturan yang membatasi gerak tubuh perempuan di ruang-ruang social, budaya dan politik” secara Terstruktur, Sistemik dan Massif (TSM). Pandangan ini muncul menyusul kehancuran peradaban kaum muslimin akibat serbuan tentara Mongol ke wilayah-wilayah kekuasaan Islam, tahun 1256 M. Kehancuran di wilayah kekuasan Islam ini diikuti oleh kehancuran peradaban Islam di Andalusia tahun 1492 M. Akan tetapi sejumlah peneliti berpendapat bahwa peminggiran kaum perempuan dari ruang publik dan dalam dunia ilmu pengetahuan secara khusus, sesungguhnya lebih disebabkan oleh kebijakan negara untuk pembekuan aktivitas intelektual dan kebebasan berpikir serta hilangnya kritisisme terhadap kekuasaan. Proses sejarah peradaban Islam berlangsung stagnan, beku. Yang terjadi adalah pengulang-ulangan yang terus menerus, dan peniruan. Kritik-kritik atas pikiran terlarang dan dipandang kriminal. Marjinalisasi dan subordinasi menjadi massif dan terstruktur. Keadaan ini berlangsung selama berabad-abad, sekitar 7 abad.







0 comments :

Post a Comment