Sebelum menimba Ilmu di Lirboyo, Kiai Mahrus pernah mondok di Kasingan, Rembang, untuk berguru kepada Kiai kholil, kakek saya. Bahkan saat Kiai Mahrus itu putra-putranya sudah jadi kiai semua, beliau tetap saja masih suka mondok kemana-mana. Beliau lama sekali mondok di Kasingan.
Yang terkesan dari beliau sampai saat ini, saya sering sowan ke kediaman beliau ketika saya sudah tidak mondok di Lirboyo. Kalau saya belum bisa berkunjung kesana, biasanya Kiai Mahrus yang datang kesini. Sebab bagi beliau, Rembang adalah almamaternya. Ketika berkunjung ke Rembang mesti ke tempat ayah saya, sebab beliau sudah kenal sejak di Kasingan. Jadi erat sekali hubungan Kiai Mahrus dengan keluarga kami.
Sebenarnya saya banyak diberi ijazah oleh beliau, tapi yang sanggup saya amalkan cuma shalawatnya saja, karena ijazah selain itu saya anggap sulit, sebab ditambah ada puasanya segala. Hehe…(tertawa). Dan yang lebih menarik lagi bagi saya adalah keistimewaan shalawatnya. Pada suatu hari, ketika saya sowan kepada beliau, saya melihat ada bangunan yang berbeda dari sebelumnya. Saya menjadi heran karena beliau biasanya ketika membangun rumah cepat sekali. Kemudian saya bertanya kepada beliau: “Ini sebulan yang lalu belum ada, sekarang kok sudah ada Kiai?”
Beliau menjawab dengan ringan: “Oh… itu Cuma tujuh ratus lima puluh”.
Mendengar jawaban beliau seperti itu, saya menjadi penasaran, lalu saya perjelas lagi pertanyaannya: “750.000 rupiah?”
Beliau lalu menjawab jika pembangunan yang baru selesai itu berbekal 750.000 bacaan shalawat. Jadi keistimewaan shalawat Kiai Mahrus itu bisa dibaca terus meskipun sambil berbicara. Ketika beliau diam, mulutnya selalu bergerak-gerak melantunkan shalawat. Ketika sedang mendengarkan orang lain, beliau juga membaca shalawat. Bisa dikatakan meski sambil berbincang-bincang misalkan, beliau selalu bisa bershalawat. Itulah luar biasanya shalawat beliau.
Oleh : Gus Mus
0 comments :
Post a Comment