Thursday, November 19, 2020

Mudhif?

“Pengen mudhiiiiiif”. Bunyi status jejaring sosial salah seorang wali santri. Kata mudhif tiba-tiba menjadi familiar di kalangan wali santri dan tentu saja pasti sudah sangat populer di kalangan santrinya. Banyak wali santri mengira dan meyakini bahwa kata mudhif itu artinya adalah berkunjung atau menjenguk. Itu bisa terlihat dari frasa: “Ust, hari Jum’at nanti saya mau mudhifin anak saya.” Atau “kapan ust diperbolehkan mudhif?, udah kangen banget saya sama anak.”

Entah mulai kapan kata “mudhif” menjadi bermakna berkunjung. Seingat saya dulu ketika saya menjadi santri dari tahun 1996, sampai selesai pengabdian di Gontor tahun 2006, sangat tidak familiar dengan kata ini. Apa karena saya dulu jarang dijenguk bahkan tidak pernah melainkan hanya satu kali, itu pun sudah kelas enam menjelang ujian akhir. Tapi setidaknya saya juga jarang mendengar kosa kata tersebut keluar dari mulut teman-teman saya.

Mudhif (مضيف) adalah kata yang serumpun dengan kata dhaif (ضيف) berasal dari kata dhafa (ضاف) yang memiliki arti condong atau miring. Dhaif artinya tamu, orang yang berkunjung. Sedangkan mudhif artinya tuan rumah, atau orang yang menjamu tamu. Kata mudhif atau mudhifah banyak kita dengar di bandara atau penerbangan yang artinya pramugara (mudhif) atau pramugari (mudifah). Orang Arab pasti linglung jika mendengar kata mudhif dipakai dalam artian berkunjung seperti yang dimaksudkan wali santri. Saya juga sempat tidak nyambung saat pertama kali mendengar kata tersebut.

Baiklah, seperti yang saya singgung tadi, kenapa saya dan atau teman-teman seangkatan atau yang lebih dahulu dari kami tidak familiar dengan kata mudhif atau kata yang sepadan dengan itu, karena kami dahulu jarang dijenguk. Pada umumnya santri Gontor memang sangat jarang dijenguk kecuali mereka yang berasal dari daerah sekitar atau kota-kota yang tidak terlalu jauh dari Gontor. Daerah asal santri Gontor tersebar dari Sabang sampai Merauke, bahkan luar negeri. Merata, tidak ada yang sangat dominan. Konsulat yang memiliki anggota paling banyak dibandingkan yang lain adalah Jakarta, Surabaya, dan Priangan, wajar karena itu adalah kota besar. Bahkan jumlah anggota konsulat luar negeri tak kalah banyak dengan konsulat-konsulat yang berada di Indonesia bagian timur seperti Maluku.

Entahlah, kata apa yang dulu kami gunakan untuk memaknai kata “mudhif” versi wali santri jaman sekarang. Yang jelas, kata dhoif dan qismu dhiyafah lebih terkenal dari kata mudhif. Kami tidak mempopulerkan kata mudhif, paling jauh kami mengayakan “abuhu ya’ti”, “yazuruhu abuhu”, atau “mad’u ila qismi dhiyafah” ketika teman kami mempertanyakan keberadaan teman yang sedang mendapat kunjungan. Saya juga pernah mendengar kata “mudhayyaf” disematkan bagi santri yang sedang dijenguk oleh orang tuanya.

Nah, bagaimana cara mudhif (eh, menjenguk) anak di Gontor? Bagi wali santri baru tahun ini, tentu belum pernah menjenguk anaknya karena aturan yang belum mengizinkan. Mumpung belum melakukan kunjungan alangkah baiknya mempelajari terlebih dahulu bagaimana cara menjenguk. Kita mulai dengan Gontor Putri, karena ini lebih sulit bahkan super sulit.

Untuk bisa menjenguk santriwati Gontor Putri, pastikan anda terdata dalam “kartu mahram”. Disebut kartu mahram karena dulu bentuknya adalah kartu yang memuat daftar mahram bagi santriwati. Tapi sekarang ini rupanya sudah tidak berbentuk kartu lagi, khususnya kampus Gontor Putri 1. Untuk saat ini sepertinya sudah berbentuk database yang siap dibuka oleh bagian yang berkepentingan khususnya Bagian Penerimaan Tamu. Jadi, jika anda tidak terdata di database, dipastikan anda tidak dapat menemui atau memanggil santriwati yang bersangkutan untuk keluar (datang) ke Bagian Penerimaan Tamu (Bapenta). Siapa pun anda.

Bagaimana agar data kita masuk database “kartu mahram”? yang masuk kartu mahram adalah yang benar-benar anggota keluarga inti dan mahramnya. Baik laki-laki atau pun perempuan semuanya didata, jadi bukan berarti hanya nama-nama mahram (laki-laki) saja yang terdata, perempuan sekali pun kalau tidak ada di database jangan berharap bisa menemui santriwati. Data diinput berdasarkan KTP orang tua an Kartu Keluarga (KK). Jika mahram berbeda KK (seperti paman), maka juga harus mengumpulkan KTP paman dan KKnya saat kembali ke pondok setelah liburan. Ini pun akan dicocokkan apakah nama orang tua paman (kakek) sama dengan naka kakeknya (orang tua dari orang tuanya)?. Begitulah Gontor Putri menjaga putri-putri kita, sangat ketat dan selektif, putri kita jadi ratu yang sangat mahal, yang dijaga oleh lapisan petugas, tak sembarang orang bisa menemuinya.

Dulu saat saya masih mengabdi di Gontor, dan ada keperluan untuk menyampaikan amanat berupa makanan dan uang untuk kerabat saya santriwati Gontor Putri 1 dari orang tuanya, dia adalah kerabat saya, rumahnya pun berdekatan dengan rumah saya, tapi karena saya bukan mahramnya, dan tidak terdaftar di database, saya pun hanya gigit jari dan tidak bisa memanggilnya keluar. Anak-anak petugas Bapenta tidak bergeming saat saya berargumen, tidak peduli kalau saya ustadz Gontor, sekali tidak ya tidak. Akhirnya saya diarahkan menghadap ust senior di sana untuk meminta rekomendasi, dan alhamdulillah saya diizinkan memanggil kerabat saya itu tetapi hanya bisa menemuinya di teras rumah beliau.

Bagi yang sudah terdaftar di database, silakan datang berkunjung jam berapa pun. Karena pondok tidak pernah tutup, bila kita datang di jam tutup kantor penerimaan tamu, silakan beres-beres dulu, tempati tempat yang tersedia di sana, tanya dan izin kepada sesama wali santri yang datang duluan, atau kita bisa memesan kamar wisma sambil menunggu anak-anak Bagian Penerimaan Tamu membuka pendaftaran untuk bertemu santriwati.

Di saat petugas resepsionis membuka loket, datanglah dan mengantri, tunjukkan KTP kita, dan sebutkan nama santriwati, atau no stambuk atau data lainnya yang diminta. Petugas akan mengecek dan mencocokkan KTP kita dengan database, kemudian menulis data santriwati di kartu panggilan ke Bapenta, kartu tersebut akan diberikan kepada santriwati yang bersangkutan oleh petugas lainnya, dan merupakan surat sakti yang bisa digunakan anak kita untuk bisa keluar menuju Bapenta. Tanpa kartu paggilan tersebut, santriwati siapa pun tidak bisa lolos menyelinap ke Bapenta karena harus melewati penjagaan dari Bagian Keamanan OPPM atau petugas lainnya.

Ada pun cara menjenguk santri putra, maka lebih mudah dibandingkan dengan putri. Sebenarnya prinsipnya sama, hanya saja cara pengelolaannya yang berbeda. Di putra, selama kita tidak mencurigakan maka aman-aman saja. Di putra, orang yang menjenguk dan meminta dipaggilkan santri dari keluarganya, cukup hanya meninggalkan KTP ke Bagian Penerimaan Tamu. Selain menunggu di Bapenta, di kampus putra kita juga bisa masuk ke dalam kampus untuk melihat-lihat suasana kampus. Kita diperbolehkan keliling mengunjungi masjid, jalan utama, dan jalan yang ada di dalam kampus, tentu saja kita dilarang untuk masuk asrama. Oya, satu lagi, di Bapenta kampus putra, biasanya disediakan makan gratis setiap jam makan. Petugas Bapenta akan menyediakan makan sesuai dengan jumlah yang terdaftar di buku tamu.

Mari kita berkunjung. Katakan: berkunjung, menjenguk. Bukan mudhif.


By Dedi Haeruzi

0 comments :

Post a Comment