Thursday, October 6, 2022

BUKTI CINTA KEPADA NABI SAW

Pertama: Mendahulukan dan mengutamakan beliau dari siapa pun


Hal ini dikarenakan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam adalah makhluk pilihan dari Allah Ta'ala. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى كِنَانَةَ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيلَ وَاصْطَفَى قُرَيْشًا مِنْ كِنَانَةَ وَاصْطَفَى مِنْ قُرَيْشٍ بَنِى هَاشِمٍ وَاصْطَفَانِى مِنْ بَنِى هَاشِمٍ


“Sesungguhnya Allah telah memilih Kinanah yang terbaik dari keturunan Isma'il. Lalu Allah pilih Quraisy yang terbaik dari Kinanah. Allah pun memilih Bani Hasyim yang terbaik dari Quraisy. Lalu Allah pilih aku sebagai yang terbaik dari Bani Hasyim." (HR. Muslim no. 2276)


Di antara bentuk mendahulukan dan mengutamakan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dari siapa pun yaitu apabila pendapat ulama, kyai atau ustadz yang menjadi rujukannya bertentangan dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka yang didahulukan adalah pendapat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Asy Syafi'i rahimahullah, “Kaum muslimin telah sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya ajaran Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena perkataan yang lainnya.”


Kedua: Membenarkan segala yang disampaikan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam


Termasuk prinsip keimanan dan pilarnya yang utama ialah mengimani kemaksuman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dari dusta atau buhtan (fitnah) dan membenarkan segala yang dikabarkan beliau tentang perkara yang telah berlalu, sekarang, dan akan datang. Karena Allah Ta'ala berfirman,


وَالنَّجْمِ إِذَا هَوَى (1) مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَى (2) وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (3) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى (4)


”Demi bintang ketika terbenam. Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru. Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)." (QS. An Najm: 1-4)


Ketiga: Beradab di sisi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam


Di antara bentuk adab kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam adalah memuji beliau dengan pujian yang layak baginya. Pujian yang paling mendalam ialah pujian yang diberikan oleh Rabb-nya dan pujian beliau terhadap dirinya sendiri, dan yang paling utama adalah shalawat dan salam kepada beliau. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


الْبَخِيلُ الَّذِي مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ


“Orang yang bakhil (pelit) adalah orang yang apabila namaku disebut di sisinya, dia tidak bershalawat kepadaku." (HR. Tirmidzi no. 3546 dan Ahmad (1/201). At Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan shohih ghorib)


Keempat: Ittiba' (mencontoh) Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam serta berpegang pada petunjuknya.


Allah Ta'ala berfirman,


قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ


“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu"." (QS. Ali Imron: 31)


Kelima: Berhakim kepada ajaran Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam


Sesungguhnya berhukum dengan ajaran Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam adalah salah satu prinsip mahabbah (cinta) dan ittiba' (mengikuti Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam). Tidak ada iman bagi orang yang tidak berhukum dan menerima dengan sepenuhnya syari'atnya. Allah Ta'ala berfirman,


فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا


“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (QS. An-Nisa': 65)


Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, "Setiap orang yang keluar dari ajaran dan syariat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam maka Allah telah bersumpah dengan diri-Nya yang disucikan, bahwa dia tidak beriman sehingga ridha dengan hukum Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam segala yang diperselisihkan di antara mereka dari perkara-perkara agama dan dunia serta tidak ada dalam hati mereka rasa keberatan terhadap hukumnya.”


Keenam: Membela Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam


Membela dan menolong Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah salah satu tanda kecintaan dan pengagungan. Allah Ta'ala berfirman,


لِلْفُقَرَاءِ الْمُهَاجِرِينَ الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا وَيَنْصُرُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ


“(Juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan RasulNya. Mereka itulah orang-orang yang benar." (QS. Al Hasyr: 8)


Di antara contoh pembelaaan terhadap Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam seperti diceritakan dalam kisah berikut. Ketika umat Islam mengalami kekalahan, Anas bin Nadhr pada perang Uhud mengatakan, "Ya Allah, aku memohon ampun kepadamu terhadap perbuatan para sahabat dan aku berlepas diri dari-Mu dari perbuatan kaum musyrik."  Kemudian ia maju lalu Sa'ad menemuinya. Anas lalu berkata, "Wahai Sa'ad bin Mu'adz, surga. Demi Rabbnya Nadhr, sesungguhnya aku mencium bau surga dari Uhud." "Wahai Rasulullah, aku tidak mampu berbuat sebagaimana yang diperbuatnya," ujar Sa'ad. Anas bin Malik berkata, "Kemudian kami dapati padanya 87 sabetan pedang, tikaman tombak, atau lemparan panah. Kami mendapatinya telah gugur dan kaum musyrikin telah mencincang-cincangnya. Tidak ada seorang pun yang mengenalinya kecuali saudara perempuannya yang mengenalinya dari jari telunjuknya." (HR. Bukhari no. 2805, 4048 dan Muslim no. 1903)


Ketujuh: Membela ajaran (sunnah) Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam


Termasuk membela ajaran beliau shallallahu 'alaihi wa sallam ialah memelihara dan menyebarkannya, menjaganya dari ulah kaum batil, penyimpangan kaum yang berlebih-lebihan dan ta'wil (penyimpangan) kaum yang bodoh, begitu pula dengan membantah syubhat kaum zindiq  dan pengecam sunnahnya, serta menjelaskan kedustaan-kedustaan mereka. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah mendo'akan keceriaan wajah bagi siapa yang membela panji sunnah ini dengan sabdanya,


نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا شَيْئًا فَبَلَّغَهُ كَمَا سَمِعَهُ فَرُبَّ مُبَلِّغٍ أَوْعَى مِنْ سَامِعٍ


“Semoga Allah memberikan kenikmatan pada seseorang yang mendengar sabda kami lalu ia menyampaikannya sebagaimana ia mendengarnya. Betapa banyak orang yang diberi berita lebih paham daripada orang yang mendengar." (HR. Abu Daud no. 3660, At Tirmidz no. 2656, Ibnu Majah no. 232 dan Ahmad 5/183)


WaLLAAHUa'lam

0 comments :

Post a Comment