Sunday, July 12, 2020

"TAREKAT" GONTOR

Apakah Pondok Modern Gontor tidak berthoriqoh? (ini jawabannya)

Assalamualaikum... 

Tanda petik yang mengapit kata tarekat di atas dimaksudkan untuk memberi makna khusus, bukan makna tarekat pada umumnya yang mengacu kepada sistem keorganisasian tasawuf 'amali abad ke 12M atau 13M yang berupaya melestarikan ajaran-ajaran sufi besar, melainkan menunjuk kepada aspek spiritual kehidupan santri (al-hayatu-r-ruhiyah) di Gontor dalam mendekatkan diri kepada Tuhan (at-taqarrub ila-llah). Hal ini karena Gontor memang tidak berafiliasi ke suatu model tarekat manapun seperti Qadiriyah, Naqsabandiyah, Rifa'iyah, Tijaniyah, dsb. Gontor juga secara kelembagaan tidak pernah mengidentifikasi diri sebagai suatu organisasi tarekat lokal yang independen, misalnya dengan nama ath-thariqah al-gontoriyah, atau yang dinisbahkan kepada personal pendiri Gontor, misalnya dengan nama ath-thariqah as-sahaliyah, az-zarkasyiyah, atau al-fannaniyah. Hal ini bukan berarti di Gontor tidak ada kehidupan ruhiyah; justru sebaliknya, Gontor sangat kental dengan nilai-nilai ruhiyah yang menjiwai setiap gerak aktivitas ragawi santri.

Kehidupan ruhiyah dalam hal ini adalah gerak, tumbuh dan berkembangnya akal budi dan perasaan relijiusitas dalam lubuk hati (qalb) para santri sebagaimana yang digambarkan dalam dinamika al-ahwal dalam tasawwuf, seperti perasaan khauf, 'takut akan kemurkaan (ghadhab) Sang Khaliq akibat dari segala perbuatan ma'shiyat'; raja', 'penuh harap akan ridha dan rahmat Allah'; tawadhu', 'merendahkan diri dengan penuh hormat di hadapan Allah Yang Rahman Rahim'; syukr, 'rasa terima kasih sedalam-dalamnya yang tumbuh dari keyakinan adanya ni'mat Allah yang dianugerahkan kepadanya. "Wa in ta'uddu ni'matallahi la tuhshuha, QS Ibrahim: 34, jika kamu sekalian menghitung-hitung nikmat Allah, tidaklah akan mampu menghinggakannya".

Wujud al-hayatu-r-ruhiyah di Gontor dapat kita kenali saat kita memasuki masjid jami' Gontor pada tengah malam sampai menjelang fajar: saat kita turut meresapi khusyu'-nya santri yang tengah berdzikr pada malam itu, melaksanakan shalat tahajjud, mewiridkan kalimat thayyibah, berdoa, bermunajat. Tidak ada suara pada malam itu kecuali suara-suara serangga dan wirid-wirid para santri yang amat pelan, lembut, atau bahkan tak terdengar sama sekali. Kiranya inilah dzikr khafi atau dzikr qalbi. Sesekali terdengar suara isak tangis di kesunyian malam menyesali kebodohannya (atau keangkuhannya) yang telah mengkoleksi ma'shiyat. Ia mengharapkan ampunan dosa, mendambakan keselamatan beragama, memohon tuntunan Ilahi ke jalan yang benar dan terhidar dari duri-duri kehidupan. Nuansanya emosional, amat sangat emosional, namun ni'mat, teramat ni'mat. Itulah "pertemuan" (al-liqa') antara seorang hamba yang faqir dengan Rabb-nya, yang selalu didambakan. Ia pun amat merindukan ('isyq) bertemu dengan-Nya pada "hari" berikutnya. Nuansa ruhiyah yang indah ini terdapat juga di masjid 'athiq, tempat shalat berjamaah santri Gontor sebelum angkatan 80-an; atau di atas gedung Saudi yang berupa cor beton itu, dengan diterangi bintang-bintang atau rembulan di langit. Di pojok sana ada juga yang menyalakan lampu kecil untuk sekedar menyinari lembaran Qur'an yang dibacanya dengan suara lirih diterpa sepoi angin malam. Nuansa ruhiyah di tengah sejuknya malam itu dapat juga ada di ruang-ruang kelas, di dalam atau di teras asrama. Semuanya menentramkan jiwa: "ala bi dzikrillahi tathmainnul qulub, QS. Ar-Ra'd:28". Hatinya damai, jiwanya tentram, merasakan kedekatan dengan Sang Khaliq.

Harus diakui bahwa fenomena kehidupan ruhiyah seperti di atas di kalangan santri memang fluktuatif: terkadang naik terkadang turun intensitas dan kuantitasnya. Disamping itu, kehidupan ruhiyah pada waktu siang terkadang luput dari pantauan karena terhalang oleh hiruk-pikuk kegiatan fisik. Ini mengesankan bahwa kehidupan ruhiyah, khususnya kekhusyu'an shalat berjamaah, sering mengalami suatu kendala, sebagaimana yang dilaporkan oleh Yudi Latif (Mizan:1990) dan Nasrullah ZM (MG:2003). Namun, sesungguhnya secara umum ia masih sangat kental jika dirasakan dengan cara hidup di tengah mereka (dibaca dengan pendekatan interaksi simbol-simbol). Banyak bukti yang menunjukkan hal itu. Meskipun demikian, seiring dengan tumbuhnya kesadaran beribadah, belajar dan berorganisasi di kalangan santri perlu adanya peninjauan atau perbaikan sistem pengorganisasian secara terus menerus lewat musyawarah kerja organisasi santri untuk lebih mengkondisikan nuansa ruhiyah yang lebih khusyu'.

Kehidupan ruhiyah di kalangan santri Gontor memang bukanlah tarekat. Akan tetapi, mungkin, kita dapat memperhatikan lebih jauh apa persamaan dan perbedaan antara keduanya, sehingga tampak jelas mana yang khas al-hayatu-r-ruhiyah Gontor. Pertama-tama, terdapat keyakinan kuat baik dalam tarekat maupun Gontor bahwa essensi (al-jauhar) manusia adalah ruh, 'jiwanya', bukan badannya. Lebih jauh, Gontor telah menkristalkannya menjadi Panca Jiwa: Ruh keikhlasan, kesederhanaan, berdikari, ukhuwwah islamiyah, dan bebas. Inilah ajaran ruhiyah Gontor yang mendasari setiap perjuangan kependidikannya. Adapun inti seluruh ajaran ruhiyah ini tidak lain adalah ruh keikhlasan, yang secara harfiyah berarti bersih, murni (tanpa campuran), mengacu kepada makna memurnikan hanya karena Allah segala amal perbuatan. Barangkali ini paralel dengan konsep tauhid uluhiyah yang dikemukakan Syaikh Ahmad Ibn Taimiyah, "ifradullah ta'ala bi af'ali-l-'ibad". Ajaran ruhiyah Gontor yang lain terdapat dalam untaian mahfudzhat.

Ajaran ruhiyah Gontor tidak mengenal maqamat (station) sebagaimana yang ada pada ajaran tasawwuf dalam bermujahadah mendekatkan diri kepada Allah. Meskipun demikian, Gontor setuju dengan konsep mardhatillah (maqam tertinggi dalam tasawwuf sunni) seperti yang dilantunkan dalam "Mars Darussalam" dan menolak konsep "manunggaling kawula-Gusti" (wihdatu-l-wujud atau hulul).

Selanjutnya, secara institusional tarekat dan pesantren memang berbeda. Tarekat (thariqah) mengacu baik kepada sistem latihan meditasi (khalwat) maupun amalan (seperti wird, dzikr, do'a) yang dihubungkan dengan sederetan guru sufi dan organisasi tasawuf amali yang khas ini. Adapun Gontor, mengkonsepsikan dirinya sebagai pesantren: suatu lembaga pendidikan Islam berasrama khas Indonesia yang kyai sebagai sentral figurnya, masjid sebagai pusat kegiatannya dan yang menjiwainya.

Dalam tarekat ada syaikh, 'guru sufi' (al-mursyid) yang peranan dan fungsinya lebih tasawwuf-oriented; di pesantren ada kyai yang peranan dan fungsinya lebih fiqh-oriented. Namun, seiring dengan pergeseran zaman, kini keduanya tidak lagi dipersepsi atau tidak mengklaim diri sebagai manusia "suci" yang nyaris tak bersentuhan dengan urusan dunia. Dalam mengelola institusi masing-masing, misalnya, kini mereka mulai memanfaatkan sistem menejemen, bahkan mungkin dengan standard modern. Aktivitas mereka pun tidak lagi terbatas pada aktivitas pengajian atau ritual-religi secara konvensional. Sebagian mereka, bahkan, berperan menjadi wakil rakyat duduk di DPR, atau memimpin organisasi sosial keagamaan, dan bermain di pentas nasional atau bahkan internasional.

Dalam dunia tarekat, juga di Gontor, ada istilah suluk meskipun pada tataran praksis keduanya berbeda. Suluk dalam tarekat berarti "menempuh jalan spiritual", yaitu lazimnya dengan cara berkhalwat dan berdzikr, 'melafadzkan berbagai wird', yang biasanya dilaksanakan selama sepuluh sampai dua puluh hari. Selama melakukan khalwat itu hanya sedikit sekali ia makan dan minum; hampir seluruh waktunya digunakan untuk berdzikr. Berkhalwat selain di rumah suluk milik syaikh, dapat juga dilakukan di gua-gua atau makam-makam waliyullah. Akan tetapi kini berkhalwat mengambil tempat di gedung-gedung atau hotel-hotel mewah, dengan bimbingan al-mursyid. Itulah ar-riyadhah ar-ruhiyah. Di Gontor, praktek suluk sebagai ar-riyadhah ar-ruhiyah dengan cara ber-khalwat semacam itu tidak ada. Yang dilakukan di Gontor selain berdzikr secara individual, ada juga dzikr yang dilakukan secara kolektif (jama'i), seperti melantunkan syi'r "ilahi lastu li-l-firdausi ahla…" dst (karya Abi Nuwwas) menjelang shalat berjamaah dan membaca wird dan do'a seusainya. Ada juga anjuran yang kuat (wajib tarbawi) untuk melaksanakan puasa 'arafah, yaitu 1 atau 2 hari sebelum jatuhnya 'idul adhha.

Disamping itu, sesungguhnya suluk dalam istilah Gontor bukan hanya menunjuk kepada mu'amalah ma'allah tapi juga meliputi mua'amalah ma'annas, yakni etika hidup bersama (al-mu'syarah) dengan para kyai, guru, pengurus pesantren, juga dengan kawan senior, sebaya atau yang lebih yunior. Nilai as-suluk merupakan bagian penting dari, dan ditulis dalam, lembaran raport prestasi akademik setiap santri, bersama nilai al-muwadzhabah, 'kerajinan' dan an-nadzhafah, 'kebersihan'. Ada kuantifikasi pada nilai as-suluk, juga pada al-muwadzhabah dan an-nadzhafah, yakni ditulis angka 8 untuk menunjukkan kulitas baik sekali; dan 7 untuk kualitas baik; sedangkan yang mununjukkan kualitas sedang, kurang dan kurang sekali tidak ditulis di lembaran raport itu karena dapat dipastikan pemiliknya sudah meninggalkan Gontor.

Istilah ikhwan dalam dunia tarekat, yang merupakan panggilan kepada sesama kawan seorganisasi, ternyata di Gontor juga ada ya akhi untuk panggilan kepada santri putra dan ya ukhti untuk panggilan santri putri. Namun, hal yang khas dalam dunia persaudaraan santri Gontor dan barangkali berbeda dengan dunia persaudaraan tarekat, yaitu bahwa kehidupan santri Gontor diorganisir oleh mereka sendiri, lengkap dengan musyawarah kerja hingga laporan pertanggungjawaban dan serah terima jabatan organisasi, sehingga membentuk suatu student government dengan kesadaran membentuk diri menjadi "manusia ideal", yakni sosok manusia mukmin, muslim, muhsin, berbudi tinggi, berbadan sehat, berpengetahuan luas, berfikiran bebas, dan berkhidmat kepada masyarakat. Selain itu, semua santri Gontor belajar bahasa Arab sehingga memungkinkan mereka untuk mengakses makna dibalik apa yang mereka lafadz-kan itu. Kemampuan mengakses makna 'Arabiyah juga ternyata menjadikan kehidupan ruhiyah di Gontor terhindar dari sikap kultisme yang hampir mensucikan sesama manusia. Di Gontor, sikap rasional dapat hidup melengkapi kehidupan ruhiyah yang intuitif itu. Wallahu a'lam bi-sh-shawab

Sumber :fb Farizuck Al-Fariz


0 comments :

Post a Comment