Sunday, March 8, 2020

MENCARI RIDHO GURU

Mencari Ridho Guru, itulah rahasia besar kesuksesan ulama terdahulu, yang makin terlupakan sekarang.

Di samping keikhlasan sang guru itu sendiri tentunya yang juga makin jarang kita temukan sekarang.

Contoh kecil, guru pondok tanpa gaji tetap mengajar mencari ridlo Allah dan ridlo kyai.
Bandingkan dengan dosen tasawwuf mengajar bab zuhud, tapi kalo gak digaji gak bakal berangkat. Ikhlas yang mana?

Kyai setiap sholat malam mendoakan santri, santrinya setiap ngaji kirim fatihah ke kyai.
Kira² guru sekolah pernah nggak nirakati murid²nya? Apalagi muridnya, juga gak pernah memfatihahi guru.

Lebih barokah mana ilmunya?.
Sanad keilmuan terjamin silsilahnya.
Guru pondok punya kyai, kyainya punya kyai, kyainya kyai punya guru sampai bersambung kepada Kanjeng Nabi.

Lha kalo dosen tafsir di kampus ada yang nasrani, banyak profesor hafidz Quran di Harvard University yang agamanya yahudi. Jadi kuliah tafsir sanadnya bisa sampai ke dosen yahudi. Lebih terjaga mana?

Kyai di pondok tidak hanya mengajar kitab, tapi beliau adalah gambaran dari isi kitab itu.

Santri bisa niru akhlaknya kyai, zuhudnya kyai, wira'inya kyai, sabarnya kyai dan akhlak mulia lainnya.

Kebanyakan sekolah dan kuliah itu, gurunya cuma bisa ngajar, bahan materinya bisa copy paste dari google atau buku.

Lah, tidak ada jaminan yang menulis di internet dan di buku itu orang sholih dan mengamalkan ilmunya.

Belajar di pondok tidak banyak kecampuran maksiat.

Santri putra kelasnya dipisah dengan santri putri. Kalaupun jadi satu pasti dipisah tabir.

Lah di kampus belajar mata kuliah tasawwuf pas bab khouf. Eh, campur aduk laki² perempuan. Mengetik makalah bab khouf dan roja' sambil chatingan sama pacar.

Ilmu itu NUR (cahaya) sedangkan maksiat itu dhulm (gelap). Mungkinkah cahaya dicampur dengan kegelapan?

K.H.Marzuqi Mustamar .

0 comments :

Post a Comment