Thursday, June 25, 2015

citra

Puisi Ibnu Athaillah dalam syair “Idfin” :

إِدْفِنْ وُجُوْدَكَ فِى أَرْضِ الْخُمُوْلِ
فَمَا نَبَتَ مِمَّالَمْ يُدْفَنْ لَا يَتِمُّ نَتَاجُهُ

Sembunyikan wujudmu  pada tanah yang tak dikenal Sebab sesuatu yang tumbuh  dari biji yang tak ditanam tak berbuah sempurna

Puisi tersebut bicara soal perlunya menjauhkan hasrat dan ambisi akan popularitas, kemasyhuran diri dan politik pencitraan.

Arti puisi itu kira-kira begini: “Simpanlah hasratmu akan popularitas, karena hasrat yang demikian tak akan membuat dirimu tumbuh dan berkembang sempurna”. Hasrat akan kemasyhuran akan menyibukkan diri pada urusan-urusan yang tak berguna dan mengabaikan kerja-kerja yang bermanfaat bagi manusia. Cinta pada kemasyhuran mendorong orang untuk mengurusi dirinya sendiri dan tak peduli pada orang lain. Hasrat ini mungkin sekarang popular disebut “politik pencitraan”.

Yasraf Amir Piliang, Posrealitas. Mengatakan : “Citra merupakan bentuk manipulasi realitas untuk kepentingan tertentu, dan pada titik yang ekstrim, tercerabut sama sekali dari dunia realitas. Citra tak lagi merupakan cermin realitas, melainkan cermin dari kepentingan. Yang tercipta adalah fatamorgana social yang di dalamnya tanda-tanda (symbol-symbol) telah tercerabut dari kebenaran”. Dengan lugas Yasraf bilang: “Citra memangsa dunia realitas dan membunuh kebenaran”.

Makna lain dari kata-kata bijak Ibnu Athaillah di atas adalah perlunya ketulusan dan keikhlasan. “Sepi ing pamrih, rame ing gawe”, kata pepatah Jawa.

0 comments :

Post a Comment